PERMATA HATIKU

PERMATA HATIKU
Anak-anak adalah pendorong untuk aku terus melangkah kedepan, mengharungi onak dan duri. Kerana mereka aku masih bertahan dan akan terus menyayangi mereka selama-lamanya.

Friday, October 7, 2011

KADA KIVAO KAUS

Kada Kivao Kaus Insan tokou mamanau ngoduvo Humozog doid kadaatan tagazo Insan tokou huma’ang ngoduvo Sumunsui lahan noponu himbato Insan Pada’u tokou nababas nosongou Insan takod tokou nakazaa nokoimpau do humbisang tobisa. Insan tokou ko-loso lati kounsikaan Insan tokou momoloso i-nomis do paa Insan tokou popionit hizab do sogigisom kito poinpasi ngoduvo Om Insan tokou monidong Pampang di tavakas om osindak, om dotokou ngoduvo. Okon ko pama babang hinasu do tadau oovit gisom kotonobon Asam ie pama di tahib tangaadau Pada’u pinosukod notohon do uvab tagazo Pampang tosindak nomomos nouta Hizab tokou nouhun napansa Om sundung potuu do mongimbabas tokou Mogovit haang di misuvai lahan. Om Kada kiva oh kaus ditto Kada kiva kopoitan doid tunuundu ditto Sabab lahan ditti okon ditto Om okon nogi di pokinuon ditto.

Ibu

Pagi yang hening ini Membaca luahan rasa temanku tentang seorang ibu Lewat puisi menghambat rasa Ibu wanita terpilih olen Tuhan Melahirkan dan menyayangi kami Walau tetap ada silap sana sini Namun kau tetap mulia di hati kami. Ibu.. Tuhan berikan sekeping hati dan jiwa yang murni Berkorban demi kami semua Menjadi banteng pada kelemahan kami Menjadi pendorong agar terus maju Meluahkan kasih dan sayang selautan benua Apa lagi yang kami mahu Apa lagi yang kami sesalkan Hanya teerkilan kerana tak mampu membalas Walau setitik keringat pengorbananmu! Ibu… Semoga kau damai di sana Kami hanya dapat mendoakan Doa pada Tuhan yang satu Sebagai pembalas kasih sayangmu! Semoga Tuhan terus menyayangimu di sana Seperti kau menyayangi kami dahulu. October 2011 - KK

Friday, September 16, 2011

Salam dari pergunungan

Merenung keindahan bukit bukau mendampingi Gunung Kinabalu Walau di sepanjang tubuhmu Sudah banyak luka luka Perbuatan tebus guna pasti telah menyakiti tubuhmu! Banjaran Kroker... Terlalu banyak perubahanmu Namun ini semua tidak dapat dielakkan Maafkan kami... Kerna terpaksa memperkosa dirimu Bangunan baru bakal membantu wargamu Agar kehidupan lebih meningkat lagi. Namun ada penjuru dirimu Pasti akan terpelihara kesuciannya Kerna engkau jadi penyelamay dunia Penyelamat mahluk ciptaan Tuhan. Benteng penahan pada pencemaran alam! Kau pasti bangga Seluruh pelusuk dunai Teringin mengecapi keamanan banjaranmu Ingin menikmati tidur yang enak dan aman dibawah kakimu dan disekeliling tubuhmu Bagai bayi dalam gendongan Kau mendakap mereka dengan kasihmu. Dan... Pasti pulangnya mereka nanti Namamu tersebar luas Kasih dan cintaamu Bakal mendakap setiap rasa diseluruh bumi ciptaan Tuhan. mereka bakal kembali lagi Mereka akan membawa kekasih-kekasih hati yang lain Untuk menikmati kasih sayangmu. 16/09/2011 Kundasang.

Thursday, September 15, 2011

komen ke 15 dari bapak Dr Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 15. Untuk mengakhiri tulisan ini, aku merasa tertarik pada pertanyaan Ena Nakiah, anak perempuanku, seorang pengajar di sebuah universitas Jawa Timur, setelah membaca serie tulisan ini Serie 12, mengajukan pertanyaan cerdik: "Saya tertarik dengan tulisan puisi untuk "pengungkapan diri" Babe Kusni. Saya juga mempelajari tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis. Banyak yang tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus di bungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di tanah air Indonesia. Pertanyaan saya untuk Babe, Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?".Salam –Najlah. Berbicara tentang masalah “pengungkapan diri”“a river of no return” yang ia pilih untuk diharungi. ,membuatku selalu teringat akan W.S. [Willy Subrordus] Rendra [sekarang disebut Rendra], ingat akan saat-saat ketika kami sama-sama hidup di Yogya dalam keadaan serba kekurangan. Kami pernah boleh dikatakan seru;ah di jalan Sukun [sekarang jalan Mangunpranoto] Yogyakarta. Tapi Rendra berkeputusan untuk hidup sebagai seniman , apapun resikonya. Kesusasteraan bagi Mas Willy, demikian aku memanggilnya, merupakan Menjadi seniman dengan segala resiko atau konsekwensinya nampaknya juga dianuti oleh banyak seniman-seniman lain antara lain seperti Teguh Karya, Kus Hendratmo, dan lain-lain… Dalam sebuah percakapannya di TVRI Jakarta, Kus Hendratmo antara lain mengatakan bahwa untuk menjadi seniman yang serius dengan capaian yang serius , tidak bisa dilakukan dengan amatiran. Pandangan dan sikap ini juga kudapatkan pada rombongan ketoprak Krido Mardi Yogyakarta yang memilih hidup-mati dari ketoprak. Barangkali kesimpulan ini dicapai karena sastra memang adalah suatu totalitas. Sebaris dua puisi pun adalah hasil dari totalitas demikian juga, hasil dari pergulatan, perenungan, pencarian pikir dan rasa yang total di jalan mimpi sebagai seniman. Dan seniman memang tidak lain dari seorang pencari sarat mimpi. Sebagai pencari dengan mimpi seluas galaksi, betapa pun sunyinya , justru ia akan merasa sangat sakit jika hak mengungkapkan dirinya diberangus atau dibatasi. Mengungkapkan diri adalah suatu keperluan mendasar bagi semua orang”, ujar Rendra ketika ia kutemui di Gampingan Yogyakarta , beberapa dasawarsa yang silam. Waktu itu , Rendra baru saja nikah dengan Mbak Soenarti Soewandi, penyanyi terkemuka pada zamannya. Di Gampingan keduanya hidup dalam keadaan sangat minim. Makan nasi hanya dengan garam, dan Mbak Narti demi cinta sanggup menjalaninya. Menyambut gembira kedatanganku yang memang mereka harap-harapkan Mas Willy melanjutkan pernyataan girangnya: ‘‘Mengungkapkan diri dalam berbagai bentuk, seperti marah, menangis, berteriak, tertawa, diam, dan lain-lain …. suatu keperluan dan hak dasar manusia. Dan kepadamu aku bisa ungkapkan diri secara leluasa”. Aku sendiri merasakan langsung sakitnya orang yang diberangus hak bicaranya baik pada masa kekuasaan Orba Soerhato maupun pada waktu aku bekerja di Palangka Raya sebagai sebagai guru sederhana di sebuah universitas kecil di ibukota Kalteng ini –yang justru merupakan kampung kelahiranku sendiri . Pemberangusan hak bicaraku di depan publik baik lisan atau pun tertulis dikenakan setelah usai konflik antar etnik yang sangat berdarah tahun 2001. Pemberangusan inilah yang memaksaku menulis di bawah 30 puluhan nama samaran. Dari apa yang kualami langsung sejak lebih dari tiga dasawarsa dan juga pengalaman orang-orang lain serta negeri-negeri lain, maka kukira sangat tepat apadan benar apa yang dikatakan oleh anak perempuanku tersayang, Ena Nakiah alias Najlah bahwa ‘pengungkapaan diri merupakan sesuatu yang mahal di tanahair Indonesia’. Bahkan hanya ‘sesuatu yang mahal’ bahkan sering sangat mahal karena tidak jarang ia harus dibayar dengan kepala dan nyawa. Karenanya aku sempqat berpikir ‘janganlah jadi sastrawan kalau takut melawan arus dan takut memberontak”. Kalau menggunakan istilah pengarwang Tiongkok, Lu Sin: ‘Janganlah jadi sastrawan kalau takut jadi gila’. Dunia yang garang dan tak punya belaskasihan. Pemberangusan dan pembatasan hak mengungkapkan diri, kukira ,sekaligus mempertontonkkan keadaan bahwa di negeri itu tidak ada kebebasan, memperlihatkan adanya penindasan dasar yang paling tidak manusiawi sedang berlangsung. Karena pengungkapan diri merupakan sesuatu yang alami maka ia seperti arus akan selalu mencari muara dan mencari jalan keluar betapa pun ia dibendung. Ia pun seperti angin yang berhembus di angkasa mengelanai penjuru tanpa perduli gunung dan rimbaraya. Pengungkapan diri selain merupakan hak, ia juga merupakan keperluan. Suatu ‘kebutuhan’ jika menggunakan istilah orang Jawa. [Aku katakan ungkapan orang Jawa, karena kata ‘butuh’ di daerah lain mempunyai konotasi lain lagi, Ena puteriku saying, perbedaaan arti yang menunjukkan betapa beragamnya budaya dan bahasa tanahair, keragaman yang membanggakan sebagaimana kau selalu membanggakannya, anakku Sayang, sehingga kau selalu menolak alur pikir ‘asas tunggal’ atau ‘la pensee unique’! Jilbab di kepalamu tak membelenggu kepak sayap-sayap pikiranmu mengelana bebas ke mana-mana di galaksi misteri. Inilah yang membuat Babe bangga pada kau, anakku Sayang]. Hanya penindas yang takut pada kebebasan pengungkapan diri. Penindas biasanya menabur jala penindasan guna menjaring orang-orang yang berbeda pendapat dan bersamaan dengan itu si penindas menabur tuba ketakutan di langit kehidupan. Takut dan penindasan adalah dua sahabat akrab dalam memusuhi kemanusiaan. Takut dan penindasan mengharapkan orang pasrah pada nasib dan memuja takdir, ujud dari eskapisme atau pola pikir dan mentalitas yang memang dibentuk serta diharapkan oleh penindas. Tuhan,dewa-dewi dan para malaikat diperosotkan sebagai kepala sipir dan menjadikan para perempuan jadi penghuni ‘harem’ berskala dunia serta barang dagangan, padahal perempuan adalah ‘penyangga separo langit’. Kebebasan suatu bangsa dan negeri tercermin juga dari posisi kaum perempuannya. Keadaan begini biasanya mempunyai kaitan, terutama dengan tatanan sosial-ekonomi ywng kemudian memusatkan ungkapan diri pada politik. Banyak sistem atau nilai dominan dalam masyarakat yang menempatkan para perempuan bahkan manusia umumnya sebagai tawanan suatu system dan nilai dominan tidak lain dari suatu penjara belaka. Karena itu sering kukatakan bahwa puisi sebagai sarana pengungkapan diri sesungguhnya berfungsi selain berfungsi sebagai benteng membela hak dasar anak manusia tapi juga merupakan sarana pembebasan diri. Bentuk pemberontakan. Kalau dicermati benar, maka fungsi puisin yang begini nampak dari puisi-puisi Kathirina Susanna serta proses pencarian dan pembebasan diri penyair dari Kota Kinibalu –suatu masyarakat yang didominasi oleh nilai maskulinisme , apalabila kita pelajari teks-teks karya sastra yang disiarkan. Apakah Indonesia bebas dari maskulinisme? Dengan mengamati ‘puisi-puisi Nopember’ nya saja , kita melihat kegelisahan dan pemberontakan Kathirina terhadap nilai dominan maskulinisme di Sabah, pemberontakan yang memperlihatkaqn bahwa penyair ingin menjadi anak manusia dengan segala martabat dan harkat yang menyertai predikat anak manusia sekalipun kebetulan ia lahir dengan kelamin seorang perempuan. Dalam ‘puisi-puisi Nopember’nya, aku lihat benar kegelisahan Kathirina yang dari menyerah pada takdir, pasrah pada nasib kemudian meragukannya serta mencoba bangkit menjadi anak manusia. ‘Puisi-puisi Nopember 2005’ Kathirina, bagiku, adalah puisi-puisi yang berfungsi sebagai benteng dan arena pemberontakan seorang perempuan untuk menjadi anak manusia, puisi-puisi yang merupakan pengejawantahan posisi seorang seorang penyair sebagai ‘free thinker’, warga republik berdaulat sastra-seni. Puisi pencarian jati diri seorang anak manusia. ‘Puisi-puisi Nopember 2005’ Kathirina adalah juga ungkapan kegelisahan penyair yang tak pernah usai bertanya, pencarian spiritualitas dan nilai yang selalu sampai pada koma serta tak punya titik. Setelah membaca karya-karya sastra Sabah yang disarkan baik di watan_sabah atau pun kemsas, milis resmi Ikatan Penulis Sabah [IPS], bersama esais, Rem yang sekarang sedang menunaikan program Ph.D-nya di Norwich [juga seorang Dayak], Kathirina Susanna [Dayak Kadasan] mempunyai posisi unik dalam dunia sastra Sabah , Malaysia Timur. Aku tidak tahu bagaimana masyarakat sastra Sabah memperlakukan dua penulis penentang arus ini. Apakah dikucilkan atau diperlakukan tanpa diskriminasi sekali pun berada di luar nilai dominan? Jika masyarakat Sabah bisa menghargai perbedaaan dan keragaman ini,maka aku hanya bisa berbangga hati karena dengan demikian Sabah telah memberikan teladan paling tidak bagi Kalimantan-Borneo dalam pengembangan sastra-seni yang sehat di pulau raya ini terhadap mana aku sangat terikat daqn berhutang moral. Sebaliknya dari pihak Rem dan Kathirina, bersama waktu, aku berdiri di samping yang jauh melihat perkembangan mereka lebih lanjut karena sebagaimana pepatah Tiongkok lama mengatakan ‘daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh’. Waktu sepuluh tahun berpuisi tidak cukup berkata apa-apa bagi seorang sastrawan, juga penyair, apalagi jika kita sepakat bahwa sastra adalah suatu totalitas sastrawan yang keluar dari amatirisme. Sastra adalah suatu gambaran dunia yang dimimpikan sang penyair dalam berbagai nada irama entah itu sendu, gembira, melankoli, atau pun meratap , dalam megaturh atau pun dandanggula atau pun sansana dans sebagainya. Sastra adalah kalimat tanya yang disertai oleh koma dan bukan titik. Dan sejauh ini, koma inilah yang kulihat pada Kathirina. Tapi sampai kapan, hanya Kathirina sendiri yang bisa menjawabnya. Sekarang, kembali pada pertanyaan anak perempuanku Ena Nakiah yang juga selalu gelisah: ‘Bagaimana agar raya bisa bisa memulai secara jelas mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?”. Paris, Nopember 2005 ---------------------------- JJ. Kusni

Dan aku membaca lagi komen Dr.Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 16 ‘Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?’. Pertanyaan ini mengandung isi antara lain: [1]. Situasi di mana rakyat itu hidup; [2]. Siapakah yang dimaksudkan dengan rakyat? [3]. Jalan keluar dari situasi. Mengenai soal pertama, Ena Nakiah yang selalu manja dan terbuka pada Babenya melukiskan keadaan di mana ‘rakyat’ Indonesia dalam kata-kata: “Banyak yang tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus dibungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di tanahair Indonesia”. Kalau mengungkapkan diri disepakati sebagai hak dasar atau hakiki anak manusia tapi justru hak dasar dan hakiki ini “banyak yang harus dibungkam dan dihilangkan” , termasuk “banyak tangis” maka berarti di Indonesia terdapat pelanggaran atas hak dasar dan hakiki anak manusia ini. Sampai orang menangis pun dibungkamkan dan dihilangkan. Menangis pun di Indonesia ‘menjadi suatu yang mahal’. Keadaan demikian melukiskan adanya penindasan luarbiasa di Indonesia. Penindasan luarbiasaa ini, tentu saja berdampak langsung pada pola pikir, mentalitas dan psikhologis penduduk. Daya kritik ditumpulkan. Yang tumbuh subur adalah budaya patuh, mentalitas budakisme yang sanggup mencampakkan harkat dan martabat diri sebagai anak manusia, ketakutan terhadap ajal dan ancaman penghilangan, ketidakmampuan mengatakan tidak, eskapisme, pasrah dan tumbuhnya budaya takdir. Dalam suasana begini ,manusia sesungguhnya sudah kehilangan kemanusiaan dan rasa kemanusiaan apalagi harkat dan martabat kemanusiaaan. Mistisisme pun menjadi subur sebagai tempat pelarian ‘jiwa-jiwa mati’, jika menggunakan istilah N.Gogol, pengarang Russia itu. ‘Jiwa-jiwa mati’ bergentayangan di jalan-jalan bumi tanahair. Orang0rang mati sebelum mati, sebagaimana juga telah dilukiskan oleh Rendra dalam antologi puisinya ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’ – bungarampai puisi yang kukira perlu dijadikan rujukan oleh Ena Nakiah dalam kajiannya ‘tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis’. Masalah psikhologis, bagiku, kumaksukkan hanya sebagai bagian dari masalah pola pikir dan mentalitas dan yang di Perancis merupakan salah satu obyek studi dari antropologi mentalitas –sebuah cabang ilmu antropologi yang cukup berkembang di sini. Apabila mengamati keadaan di lapangan, artinya keadaan di Indonesia, juga mencermati tulisan-tulisan di dunia maya, kalau pengamatanku benqr, maka kerusakan pola pikir, termasuk masalah psikhologis masyarakat kita merupakan kerusakan mendasar dan sangat rusak yang paling hakiki . Jika mengatakan bahwa ‘masyarakat sedang sakit’ , ‘Indoneisa is the sick men of Asia’ , maka kerusakan dan sakitnya bangsa dan masyarakat kita, justru terdapat di bidang ini. Untuk bangkit kembali dan bangkit sebagai anak manusia, maka pertama-tama yang patut disentuh dan disembuhkan adalah penyakit di bidang ini sebagaima dulu Lu Sin melihat Tiongkok pada tahun 1920-an sehingga ia membatalkan keinginan menjadi dokter medis dan memilih profesi sebagai pengarang. Karena itu, kajian yang sedang kau lakukan Ena anakku, kukira sangat hakiki. Aku sebagai Babe-mu hanya berharap agar kau jangan tanggung dan memaafkan diri dalam mengaji masalah. Kau sebagai ilmuwan patut belajar dari semangat dan teladan Socrates atau Gelileo. Jangan takut berada di luar ‘main stream’, Ena Nakiah, anak perempuanku sayang. ‘Main stream’ , nilai dominan suatu waktu tidaklah sama sebangun dengan kebenaran dan kemanusiaan. Harapan ini pun kusampaikan pada Kathirina sebagai sesama Dayak, yang melalui ‘Puisi-puisi Nopember’nya kulihat ada kecenderungan pasrah pada ‘takdir’ dan menempuh jalan ‘eskapisme’ atau kepasrahan membatu yang hanya menghancurkan diri. Menjadi anak manusia dengan segala nilai kandungannya, kukira perlu keberanian membela dan mengembangkan kadar kemanusiaan. Menjadi anak manusia bukanlah tanpa pertarungan. Justru menagih keberanian bertarung untuk menjadi manusia. Di sinilah antara lain makna kata-kata Chairil Anwar ‘sekali berarti sudah itu mati’. Ketika kita meninggalkan rahim sang ibu, kita tidak serta-merta menjadi anak manusia.Menjadi manusia adalah suatu proses pertarungan menjadi manusia. Masalah menjadi manusia dengan nilai-nilai kandungannya, kukira menjadi soal sentral bagi kita dewasa ini. Pengungkapan diri merupakan salahsatu cara untuk menjadi manusia karena itu puisi kukatakan adalah alat pemberontakan terhadap hal-hal yang tidak manusiawi dan proses dari penyair untuk menjadi manusia. Bukan karena sudah menulis satu dua syair maka penyair serta-merta menjadi manusia. Tapi masalah ini bisa dijadikan kajian khusus dan bahan-bahannya cukup tersedia, dan bertimbun berlumbung-lumbung di dunia maya dan media cetak tanahair serta negeri-negeri lain. Hanya orang yang yang tidak menghargai arti pengungkapan diri , menganggap bahwa bahan-bahan berharga untuk memahami manusia, yang memandang bahan-bahan berlumbung-lumbung ini sebagai timbunan sampah dan memandang yang terdapat di media cetak sebagai emas. Ini pun suatu kadar dan tingkat pemahaman yang ‘baru sebegitu saja’. Penyair bagiku adalah suatu kadar kemanusiaan. Kemanusiaan dari berbagai tingkat atau karat. Karena itu bagiku sangat menarik pernyataan Rendra: “ Ya! Ya! Akulah seorang tua! Yang capek tapi belum menyerah pada mati. Kini aku berdiri di perempatan jalan. Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing. Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak, Sebagai seorang manusia”. Tidakkah di negeri kita terdapat bahkan berdominasi orang-orang yang bertubuh ‘sudah menjadi anjing’ tapi jiwanya pun ‘sudah menjadi anjing’ serta tidak mampu bukan hanya menulis sajak tapi tidak bisa memahami arti sajak?! Barangkali anjing pun punya harga diri, karena jika ia disentuh , ia akan menggonggong dan menerjang si pengganggu. Antologi Rendra ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’, kuanggap sebagai lukisan keadaaan pola pikir, mentalitas dan psikhologi manusia Indonesia pada suatu periode, lepas dari adanya kritik yang mengganggap antologi ini sebagai kehilangan puitisitas – kritik yang bisa diperdebatkan lebih lanjut dan rinci. Sastra-seni, kukira, justru bergulat dengan masalah pola pikir dan mentalitas, di mana psikhologi hanya merupakan bagiannya. Sastra-seni , selayaknya, paling tidak selangkah berada di depan kenyataan, menggambarkan dunia yang dimimpikan , serta tokoh-tokoh yang diharapkan bisa mewujudkan mimpi itu. Dalam konteks membicarakan puisi-puisi Kathirina, manusia bagaimana yang disenandungkan oleh penyair Kota Kinibalu ini sebagai tokoh ideal? Tokoh yang pasrah , tokoh yang menganggap segalanya adalah takdir? Terus-terang jika tokoh begini yang diharapkan sebagai pembangun mimpi, kita hanya akan melihat bersimarajalelanya ketidakadilan. Di sinilah kukira, seorang penyair sebagai seorang pemimpi, ada keniscayaan untuk mensistematikkan mimpi-mimpinya. Kalau pun si penyair menangis, tangisnya berada dalam lingkup mimpi-mimpi agungnya tentang kemanusiaan yang patut dipertarungkan untuk bisa berdominasi, bukan untuk diletakkan di bawah tumit sepatu atau dilemparkan ke comberan. Puisi adalah suatu pemberontakan manusiawi, seperti dikatakan oleh Chairil Anwar: “Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi” Masihkah kita, masihkah bangsa dan anak bangsa ini , apakah Kathrina , si penyair Kota Kinibalu, si puteri Dayak Kadasan itu yang sesungguhnya berkonsep dasar ‘Dayak Anak Panarung’, memiliki pola pikir dan mentalitas begini? Terus-terang, sebagai sesama Dayak, aku ingin Kathirina bisa menjadi Dayak Kekinian yang tidak mencampakkan nilai-nilai tanggap budaya leluhur yang hari ini tanpa dipahami sudah dinilai sebagai kadaluwarsa sampai-sampai ada yang malu mengaku diri sebagai Dayak. Ini pun ujud dari kerusakan pola pikir dan mentalitas yang dihadapi manusia Dayak. Mengapa ada pelanggaran hak dasar manusiawi demikian serius di tanahair? Di mana sumber keadaan begini? Ini pun merupakan bagian isi perrtanyaan anak perempuanku yang memang kian cantik dengan berjilbab sekali pun baginya jilbab bukan sesuatu yang hakiki. Sebagai ilustrasi, ingin kuceritakan bahwa Ena selalu minta komentarku tentang jilbabnya dan kujawab agar jangan terlalu rapat-rapat: ‘Kenakan secara artistik, dong Sayang.Jangan ndesit-ndesit amat!’ ‘Gini Be?’ ‘Rambutmu jangan penuh ditutup dong’ ‘Gini?’ ‘Aa, itu dia, Sayang’ Ena ketawa puas dengan dandanan jilbabnya. Kami berdua ngakak. Mengakaki kehidupan, penampilan raga dan hakekat yang sering tercecer. C’est la vie, inilah kehidupan, ujar orang Perancis mengungkapkan toleransi sementara di tanahair toleransi agaknya jadi lahan tandus. ‘Babeku gila, tapi Ena sayang pada Babenya yang nyentrik.Babeku hebat’, demikian selalu Ena berkata sebelum berangkat meninggalkan rumah sambil memberiku kecupan pamitan di pipi. Tapi soal jilbab adalah soal lain yang tidak kubahas di sini karena lepas dari konteks. Paris, Desember 2005 ---------------------------- JJ. Kusni

Komen dari Bapak Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 17 Mengapa ada pelanggaran hak dasar manusiawi demikian serius di tanahair? Di mana sumber keadaan begini? Pelanggaran hak dasar manusia ini terutama dalam hal hak mengungkapkan diri keadaannya telah dilukiskan oleh Rendra dengan gamblang dalam sanjaknya ‘Aku Tulis Pamplet Ini’ antara lain sebagai berikut: “Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jarring labah-labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, Dan ungkapan diri ditekan Menjadi peng-iya-an. Apa yang terpegang hari ini Bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan ;enjkadi teka-teki, menjadi marabahaya, menjadi isi kebon binatang. Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam. Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak ;engandung perdebatan. Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan” Demikianlah keadaan hak pengungkapan diri di Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru [Orba] Soeharto selama lebih dari tiga dasawarsa yang membuat Indonesia tidak lebih dari sebuah ‘kebon binatang’. Keadaan ini bermula sejak naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan dan menjadikan ‘pembangunan’ sebagai agama serta ia kawal dengan pendekatan ‘keamanan dan kestabilan nasional’ yang membungkam kritik serta oposisi. Dengan pendekatan ini, Orba menegakkan ‘budaya’ takut serta pengembangan pola pikir dan mentalitas budakisme. Dengan pendekatan begini pula maka Orba telah menempuh jalan militerisme dan neo-feodal, memerosotkan Republik men jadi sebuah imperium. Imperium Soeharto. Dampak dari pendekatan ini dirasakan dan ditanggung oleh seluruh bangsa sampai sekarang. Satu generasi telah dirusak pola pikir dan mentalitasnya oleh pendekatan begini, termasuk para sastrawan dan seniman, antara lain dalam ujud mentabukan politik dalam berkreasi. Orba menabur tuba pendapat bahwa politik adalah kotor dan hanya jadi urusan para politisi seperti yang diungkapkan oleh Soeharto dalam salah sebuah pidato kenegaraan 17 Agustusnya. Dengan menabur tuba pandangan ini , maka Orba menutup kemungkinan anak bangsa melihat hakekat politiknya. Karena dalam dan melalui politik, pada galibnya terpusat segala kepentingan terutama kepentingan ekonomi kelompok-kelompok pemegang kekuasaan politik. Tanpa tahu politik , karya-karya akan tumpul dan tidak mengundang pertanyaan dan debat. Tanpa pertanyaan, tanpa debat tanpa kritik, maka kebenaran yang berlaku adalah kebenaran tunggal dan hal ini dikonfirmasi lebih jauh dengan ‘asas tunggal’ yang tidak lain dari pikiran tunggal [la pensee unique], yang bertentangan dengan prinsip ‘bhinneka tunggal ika’. Padahal kehninekaan adalah kenyataan di bagian planet kita ini di mana pun juga. Konsekwensi dari dominasi ‘asas tunggal’, tidak bisa lain kecuali penginjakan atas hak mengungkapkan diri secara merdeka --salah satu nilai utama dari prinsip republiken dan Indonesia itu sendiri. Dengan metode pendidikan begini maka satu generasi tumbuh seperti yang dikatakan oleh Rendra menjadi ‘angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur’. Dalam puisinya ‘Sajak Anak Muda’, Rendra antara lain menulis: “Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Kita kurang pendidikan resmi didalam hal keadilan karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajarkan dasar ilmu hukum. ………… Dasar pendidikan kitaa adalah kepatuhan. Bukan pertukaran pikiran “ Melihat kenyataan demikian Rendra lalu bertanya: “Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?” Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Rendra: “Kita hanya menjadi alat birokrasi! Dan birokrasi menjadi berlebihan Tanpa kegunaan – Menjadi benalu di dahan”. ‘Angkatan gagap’ dan ‘alat saja’ inilah kukira yang masih mendominasi bangsa dan negeri ini sekarang. Angkatan ‘jiwa-jiwa mati’ jika menggunakan istilah N.Gogol. Bisakah angkatan begini menyelamatkan Indonesia dan republik? Dengan pertanyaan ini aku sekaligus melihat arti penting kajian Ekan Nakiah yang menelaah masalah pengungkapan diri dari segi psikhologi sebagai rincian dari maasalah pola pikir dan mentalitas. Kajian yang suka tidak suka, mau atau tidak mau akan menyentuh lingkup politik. Jika ditautkan dengan puisi-puisi Kathirina, maka di sini pulalah lagi-lagi terletak keunikan Kathirina dalam dunia sastra Sabah. Kathirina tidak mentabukan masalah politik ketika ia menyentuh soal kerusakan lingkungan. Kathirina mencoba keluar dari main stream yang bicara tentang Tuhan dan Tuhan tapi lepas dari kenyataan. Sebagai manusia yang babak-belur oleh bantingan kehidupan, Kathirina ingin berpijak pada kenyataan hidup walau pun terkadang ada kesan padaku Kathirina hampir hilang kepercayaan pada manusia sebagai akibat bantingan-bantingan manusia, terutama paternalisme dan maskulinisme yang menguasai nilai-nilai di Sabah, atas nama Tuhan. Di bawah dominasi nilai begini, perempuan menjadi ‘tumbal’ pertama. Dalam keadaan begini, kukira para sastrawan dihimbau tampil ke depan mengikuti teladan Lu Sin ketika melihat keadaan Tiongkok pada tahun 20an atau sikap Zola ketika melihat ketidakadilan pada kasus Kapten Dreyfus sekalipun ia harus meninggalkan Perancis tanahairnya, lari ke Inggris oleh pendiriannya yang tegas. Ketegasan membela nilai, agaknya menjadi utama bagi sastrawan yang serius. Juga sikap Nasrin yang harus meninggalkan Bangladesh tanahairnya pergi ke Swedia karena dikejar maut. Dari contoh-contoh demikian, aku sampai pada hipotesa bahwa sastrawan dan nilai pada galibnya tidak bisa dipisahkan. Menjadi sastrawan adalah paduan utuh dari kemampuan teknik menulis denggan kedalaman pikir.Adanya paduan inilah yang melahirkan kadar – bukan otoproklamasi , lebih-lebih lagi bukan penjanjungan atau iklan diri tanpa malu seperti adat kapitalisme – sistem di mana ’manusia makan manusia’ , jika menggunakan istilah Lu Sin, dan manusia jadi barang dagangan, budak dari ciptaan nya sendiri yaitu uang. Orba Soeharto pada hakekatnya tidak lain dari rezim politik budak dan perbudakan,menginjak ke bazah menjilat ke atas yaitu kapitalisme Barat yang jadi pilar keberadaannya melalui International Governmental Group for Indonesia [IGGI] dilanjutkan dengan CGI setelah IGGI bubar. Tidaklah heran jika manusia yang diciptakan rezim ini adalah budak-budak atau slavisme dengan segala variannya. Orang merasa aman dan terbiasa dengan sistem perbudakan berlumuran darah dan menjadi budak. Kebebasan berpikir ditabukan. Orang-orang pun biasa dengan penindasan tapi tidak biasa dengan perlawanan. Perlawanan sesaat sering nampak dijadikan alat untuk mendapatkan ijazah resmi menjadi hamba kekuasaan. Sekali lagi, Ena Nakiah-ku, Babe melihat melihat kerusakan utama yang dialami bangsa ini adalah kerusakan pola pikir dan mentalitas. Kerusakan manusia Indonesia. Orang-orang sangat menyukai pola pikir dan mentalitas ‘mie instant’ [ekstrimisme kukira salah satu ujud dari pola pikir dan mentalitas ‘mie-instant’ ini juga]. Tanpa mau bekerja keras. Di sini kita sampai pada soal etos kerja – yang tentu saja di sini tidak akan kumasuki. Tapi dengan menyentuh sepintas masalah etos kerja ini, aku ingin perlihatkan betapa kompleks masalah yang Ena sedang kerjakan. Dalam hal ini pendekatan mutli disiplin, kukira patut diterapkan. Karena hidup selalu sangat rumit apalagi yang namanya manusia. Oleh sebab itu aku tidak menyetujui sikap Kathirina yang secara gampang bersikap seperti hilang kepercayaan pada manusia. Seakan-akan manusia sudah tak ada di dunia ini. Untuk apa jadi penyair jika tak percaya pada masih adanya manusia dan hilang mimpi manusiawi? Selanjutnya, aku sampai pada soal siapakah ‘rakyat’ sebagaimana yang Ena ajukan dalam pertanyaan: ‘‘Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?’. Paris, Desember 2005 -------------------------- JJ. Kusni

Terima kasih Pak Kusni!

Ah! Beruntung sekali, ketika terbaca komen, kritikan membina dari Dr Kusni tentang puisi-puisi yang aku tulis dalam tahun 2005, Aku terasa sangat bertuah dan bisa banyak belajar hasil dari panfangan dan kritikan Dr.Kusni. Terima kasih yang tidak terhingga Pak Dr. Kusni. Catatan Sastra Seorang Awam: MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 19 Apa-bagaimana kesimpulanku setelah membaca ‘Puisi-Puisi Nopember’ Katherina ditambah dengan beberapa ‘Puisi-puisi Desember’nya yang disiarkan oleh mata- bambu Jakarta, watan_sabah dan kemsas? Dari segi isi atau pandangan, yang tentu saja hal ini hak mutlak tiap orang yang patut dihormati, penyair Kota Kinibalu ini masih belum bisa membebaskan diri dari sikap fatalis, pasrah pada kekuasaan maskulinisme yang berwarna hitam khianat tidak menghargai perempuan yang nampaknya nilai dominan di Sabah. Perempuan adalah korban pertama dan pertama-tama dari dominasi nilai ini, termasuk Kathirina telah menjadi korban. Melalui ratapan dan kepasrahannya Kathirina membelejeti akibat maskulinisme ini, yang tidak lain dari ujud, di satu pihak merupakan sisa-sisa dari feodalisme dan di sisi lain merupakan pernyataan dari kekuasaan uang – ciptaan manusia yang memperbudak manusia dan kemudian di Tuhan-kan hingga memerosotkan martabat dan harkat manusia, paling tidak ‘separo dari penyangga langit’ yaitu para perempuan. Dalam hal sikap ini, aku membedakan antara fatalisme dan memperhitungkan kenyataan. Memperhitungkan kenyataan secara rasional tidaklah identik dengan fatalisme. Barangkali di sini Kathirina agak rancu. Baris-baris ini kutulis tanpa niat memasuki urusan pribadi penyair yang sama sekali tidak kukenal kecuali mengenal sejumlah teks yang disiarkannya. Apa yang kuajukukan di sini sebatas mempersalahkan konsep dunia idola atau harapan yangmerupakan bagian penting dari sebuah karya puisi. Turut menentukan kadar karya penyair yang dituntut oleh misi kepenyairannya untuk paling tidak berdiri selangkah di depan keadaan dan bukan menyeret masyarakat ke masa silam, apalagi ke tipe keadaan semacam Abad Pertengahan. Adanya protes halus tajam dan fatalisme pada Kathirina memperlihatkan bahwa penyair Kota Kinibalu ini pada galibnya sedang bertarung dengan diri sendiri – sesuatu yang positif, karena menandakan ia tidak berhenti bertanya yang berarti mencari. Dalam hal ini, kukira, Rem, sang esais Sabah, lebih tegas dan lebih selesai dengan dirinya. Barangkali alur pandang Rem merupakan alur pandang tersendiri yang menarik sekali pun tidak atau belum dominan. Hal lain yang menarik pada Kathirina, bahwa ia tidak mentabukan tema politik dan sosial. Ruang lingkup tema yang digarap oleh Kathirina adalah seluas kehidupan – sementara yang kulihat di kemsas atau watan_sabah tema ke Tuhanan , terutama dari segi sudut pandang Islam sangat kuat. Aku tidak tahu bagaimana aliran pandangan ini melihat kemajemukan masyarakat, pertanyaan yang sekaligus kuajukan untuk Indonesia. Dalam hal ini, aku tetap melihat bahwa keragaman adalah suatu keindahan sedangkan uniformitas mengandung ancaman petaka. Kebudayaan itu majemuk sedangkan kemanusiaan itu tunggal. Usaha sadar atau tidak sadar untuk`menyeragamkan suatu daerah atau negeri yang selamanya majemuk tidak lain dari kedunguan besar seperti anak kecil ingin meruntuhkan langit, dengan kepalannya. Apalagi Arab bukanlah Borneo atau Kalimantan. Borneo tetap Borneo, Kalimantan tetap Kalimantan yang layak diindahkan, apalagi yang oleh mengaku diri sebagai sastrawan handal sekaliber apa pun juga di era globalisasi ini. Dari “Puisi-puisi Nopember” nya, aku melihat juga bahwa Kathirina memperhatikan secara sadar akan akar budayanya, yaitu budaya Dayak Kadasan. Sementara yang lain sibuk dengan keislaman mereka seakan-akan Dayak tidak ada di Sabah padahal pada kenyataannya secara demografis, komunitas Dayak seperti halnya dengan di Sarawak komunitas Dayak itu tidak bisa diabaikan, juga kebudayaannya. Quo vadis alur pikiran sastrawan begini? Aku kira, jalan yang ditempuh oleh Kathirina atau Ony, asal Dayak Dusun, sebagai penyair dan budayawan, ada baiknya direnungkan demi pengembangan sastra-seni Sabah jika Sabah ingin bercirikan Sabah dan bukan Arabisasi yang samasekali tidak membangga-banggakan, apalagi di zaman ini. Usul ini pun kulansir juga untuk pembinaan kebudayaan di bagian pulau Borneo/Kalimantan lainnya tanpa usah tergelincir pada ethnosentrisme yang konyol dan berakhir di jalan buntu, anti kenyataan. Dalam tekhnik pengungakapan diri sebagai penyair , melalui apa yang kulihat [kalau pengamatanku benar] , Kathirina banyak dipengaruhi oleh tekhnik pengungkapan diri sastra lisan Dayak yang langsung. Tentu saja hal ini merupakan kekuatannya. Tapi apabila membaca ‘Puisi-puisi Nopember’ dan puisi-puisi yang terdapat di website serta ‘Puisi-puisi Desember’nya, yang kurang kudapatkan pada Kathirina adalah pertarungan sadarnya dalam menggulati tekhnik pengungkapana diri, lebih-lebih dari segi mendapatkan puitisitas khas dirinya yang merupakan hal penting bagi puisi. Sebab puisi tetap puisi bukan artikel dan tulisan yang semata mementingkan ide. Ide memang penting tapi kalau kita berbicara tentang puisi, maka ide itu selayaknya ditulis dan diungkapkan dengan semaksimal mungkin memenuhi unsur-unsur puitisitas seperti yang sudah kutulis di bagian lain tulisan ini sehingga dengan demikian, seorang penyair benar-benar menjadi penyair yang matang dalam isi dan juga matang bentuk atau cara pengungkapan. Menjadi penyair yang utuh. Kathirina mempunyai syarat-syarat untuk menjadi penyair yang utuh begini – apalagi jika ia melakukan pergulatan sadar dalam usaha meningkatkan puitisitas maksimalnya sebagai penyair, di samping pematangan dari segi isi dengan mendapatkan acuan seluas mungkin dari mana pun. Jika ia pandai menarik pelajaran dari maskulinisme Sabah yang deras menderanya, pengalaman pahit ini hanya akan membantunya kian dewasa sebagai penyair dan anak manusia sehingga bukan tidak mungkin, ia memberikan sumbangan berarti bagi khazanah sastra di luar lingkup Sabah. Mengapa tidak?! Hari-hari yang menjanjikan menunggu Kathirina, lebih-lebih Kathirina yang penanya, pencari dan penarung! *** Paris, Desember 2005 ------------------- JJ. Kusni

Sunday, August 28, 2011

Kenangan di Auckland NZ






PERCUTIAN DI NEW ZEALAND





Auckland, bandar yang aman, rata-rata orang yang saya temui semua peramai, bersiar di Rotorua yang terkenal dengan kawasan gunung berapi- melihat lahar gunung berapi meruap-ruap, membuatkan hati menjagi ngeri! Dan bersiar di pergunungan dimana Movie Lord Of The Ring di jadikan lokasi, amat menarik perhatian dan mengamit ketenangan.
Aku dapat melihat, kepingan-kepingan batu salji baru mula menjadi bagai kaca-kaca pecah. Indah sekali dan aku mahu kesana lagi!

Saturday, August 27, 2011

KESETIAN



Pagi yang sepi dan sunyi
Hanya secawan kopi dan surat kabar menjadi teman setia
Aku sendirian terkilan, rasa hatiku tersentuh syadu!
Terbaca dan terlihat berita pagi
tentang kesetian seekor anjing
Tentang kesedihan seekor binatang
Tentang kasih sayang binatang pada tuannya!
Andai dia bisa berbicara
Andai dia bisa meluah rasa dengan madah bicara
Pasti semua akan menangisi kehibaannya!

Bayangkan!!!
Binatangpun punya rasa...
Sedih dan terharu bila ditinggalkan
Kehilangan dan kepiluan!
Bila kasih sayang dan cinta putus di tengah jalan,
Apa lagi kita manusia!
Yang mampu berfikiran waras!

Walau tidak berada di sana
Cuma melihat potret itu
Membaca berita kepiluan dan kesedihan seekor anjing
Tentang kesetian kepada tuannya
Yang selalu menyayanginya
Hatiku merintih!

Jiwaku menangis!
Teringat kembali karenah manusia
yang berakal dan bernama manusia bukan binatang
Sanggup membunuh sesama insan!
Anak, isteri, ayah, suami, nenek, atuk dan yang tidak ada talian saudara
Dibunuh dengan kejam!
Dibuang, dibakar dan dihapuskan dari bahan bukti!
Inikah manusia?
Atau binatangkah dia?
Disebut dan dinamakan manusia berhati binatang!

Namun...
Pantaskah mereka di gelar binatang?
Kalau binatang sendiri ada rasa sayang dan setia?
Mari kita renungkan bersama!

Kota Kinabalu 26/08/2011

(A loyal dog who morns the death of his best friend, his owner, A navy who was killed in Afghanistan and a hero!!!) May his soul rest in peace. Amen~

Wednesday, August 17, 2011

PULANGKAN...


Berapa banyak lagi...
Yang harus terkorban
Tidak cukup lagikah
Airmata dan keringat yang mengalir disini
Tidak cukup lagikah
Darah yang tumpah disini
Tidak cukup lagikah
Kasih yang terputus disini!
Pulangkan…
Pulangkan!
Anak anak muda
Ayah dan ibu
Yang seharusnya mempertahankan
Tanah air sendiri!

Berapa banyak lagi
Yang bakal dihantar
Yang pasti gugur
Terkorban
Di tanah air orang
Pulangkan…
Pulangkan!
Usahkau siram dendammu
Dengan api senjatamu
Usah kau tunjukkan keeoganmu
Dengam mengorbankan wargamu
Cukuplah!

Pulangkan!
Pulangkan mereka…
Aku tak sanggup lagi melihat
Darah merah tumpah kebumi
Aku tak tahan lagi
Menahan derita
Melihat ibu kehilangan anak
Aka tak tega
Membaca warkah sedih lagi
Melihat
Ibu
Ayah
Hiba disebalik keranda berbungkus bendera
Melihat isteri kehilangan suami
Dan….
Anak menjadi yatim

Apa yang kau dapat!
Dari keegoanmu
Dari dendammu
Lupakah kau?
Ada yang lebih berkuasa darimu
Bukalah pintu hatimu
Pada kedamaian
Keamanan
Keluhuran
Perpaduan
Agar anak bangsamu
Tidak jatuh di medan perjuangan
Yang tidak berbaloi
Untuk mengibarkan benderamu disana!
Pulangkanlah…
Peuangkan mereka
Kepangkuan keluarga
Berbakti di tanah air sendiri.

Berapa banyak lagi….
Tidak cukup lagikah
Darah yang mengalir itu…
Kasih yang terputus
Bersemadi bersama mereka
Sudahlah…
Pulangkan mereka.


( New York 25/11/04)


BRING THEM BACK HOME!




Merenung tapak yang kosong
Hanya tinggal kesan runtuhan
Sebatang besi masih angkuh berdiri
Yang pernah menyokong
Bangunan World Trade Center

Andai besi itu bisa berbicara
Pasti luahan bahagianya
Terlukis
Dan
Andai dia bisa bercerita lagi
Pasti tercetus derita
Airmata dan sesal dari hatinya.

Merenung tapak yang kosong
Dipagari besi besi waja
Hatiku tersentuh disini
Jantungku berdegup pantas
Seperti dapatku bayangkan
Kengerian
Bila dua burung besi gergasi
Menyerang bangunan segak dan ternama itu.

Jiwaku bak ditusuk sembilu
Pasukan penyelamat
Angota keselamatan
Sanak saudara
Sahabat handai
Orang yang prihatin
Masih berada disini
Seolah-olah masih menunggu harapan
Ada nyawa yang bisa diselamatkan
Ada mayat dapat ditemui lagi!
Biar sudah setahun berlalu
Biar runtuhan sudah di bersihkan
Yang tinggal cuma
Satu kawasan lapang yang berlobang luas!

Dibelakangku
Sekumpulan insan yang prihatin
Yang sayangkan
Nyawa saudara
Mengibarkan slogan
Beriringin secara aman
dan memohon simpati sesama insan
agar dikembalikan
Pejuang negara yang dihantar untuk membalas dendam
Bring them back!
Bring them back!
Bring them back home here in USA!

Debaran didadaku terasa pantas sekali
Bila menyambut pamplet dari tangan seorang ayah
Yang berkata
Aku kehilangan adik disini
Dan mungkin akan
kehilangan anakku lagi.

Air mata seorang abang dan ayah itu
Membuat darahku mendidih!
Andai aku punya kuasa
Akanku sentuh jiwa jiwa angkuh
Yang tidak punya perasaan
Untuk menghargai keringat yang mengalir
Apa lagi darahyang tumpah!
Dan
Andai aku punya kuasa
Akanku sumpah Mahluk mahluk perosak itu
Yang berhati setan bertuhankan kekuasaan dunia
Menjadi anjing jalanan
Diherdik dan di sepak sepanjang masa!

Aku tertanya tanya
Kenapa mereka harus mati
Kalau mati ditanah air sendiri
mempertahankan nusa dan bangsa sendiri
Mereka itu memang hero!
Pejuang!
Perwira!
Pendekar!
Tapi untuk mati ditanah orang
Atas misi yang kabur
Siapalah mereka itu!
Seperti mati katak saja!

Wahai pemimpin negaramu...
Bring them back home!
Bring them back home
kerana negaramu pasti memerlukan mereka nanti
Bila dendam mereka tumpah keatas negaramu
Bila peluru tak bermata
Menghala kearahmu!




New York 25/11/04

Wednesday, August 10, 2011

Kenangan itu indah!






Keindahan sebuah kenangan
Membuatkan kita bisa Bahagia
Ketika kita senyum
Kegelapan menjadi terang
Sirna cahaya ceria terpancar
Itu satu keindahan yang tak akan padam dari dalam sejarah hidup!


Terkadang ada kepiluan dihati
Andai bisaku putar kembali masa
Aku tidak ingin membuat kamu bersedih!

Perjalanan hidup ini







Kita sering terdedah dengan segala macam percobaan ketika menyelusuri liku-liku jalan. Terkadang kita tersandung, jatuh, tergelincir namun bangun dan terus melangkah kehadapan. sesekali kita menoleh kebelakang untuk melihat apa yang kita tinggalkan.

Adakalanya kita tidak mahu menoleh kerana jalan-jalan yang kita lalui itu penuh onak dan duri! Kita tidak mahu memikirkan derita dan kesusahan lalu! Namun sebagai manusia yang lemah, yang sering tersandung dan terngadah, kita tidak dapat melupakan sejarah lalu! Ia tetap bersatu dengan diri kita, menjadi penerang, petunjuk jalan agar jaangantersilap langkah lagi!Agar jangan mengulangi dan merintasi jalan yang gelap dan salah!

Perjalanan hidup ini sebenarnya memerlukan kecekalan, kesabaran dan tolak ansur, kerana tiada jalan yang tidak berliku!

Monday, August 8, 2011

SANA SINI







Gambar kenangan di ambil di sana sini,
Menjadi ingatan sepanjang perjalanan
semoga langkahku terus maju
Mengejar impian dan harapan
Suatu hari aku berjaya
Mencapai cita cita hidup!

Trip to Macau - Zhuhai - Guangzhow - Shenzen - Hong Kong - Macau










Lawatan ke macau - ke Zhuhai menaiki bas, dari Zhuhai Ke Guangzhow menaiki Bas, Guangzhow ke Shenzen menaiki Bas, dari Shenzen ke Hongk Kong menaiki Keretapi dan dari Hong Kong ke Macau - menaiki Ferry. Perjalanan yang panjang selama 10 hari, banyak pengalaman walau meletihkan tetapi kami berpuas hati dapat menikmati makanan, scenery, budaya dan pandangan yang indah! Indahnya sungai "Pearl River" diwaktu malam!

Melbourne-Adeleide Australia






Bersama suami semasa Graduation anak lelaki kami di University Of South Australia, Adeleide. (Ricky'e Convocation in ADL, Australia)

Sunday, August 7, 2011

Kasih sayang


Walau di hujung dunia
Walau di pelusuk rimba
Bukan hanya manusia
Yang tahu membaca isi hati
Walau setinggi mana burung terbang
Walau sedalam mana ikan berenang
Kasih sayang memberi mereka kebahagian.

Apa erti bahagia tanpa kasih sayang
Biar miskin harta dunia
Jiwa tidak akan sepi dan menderita
Kerana kasih sayang
Tidak boleh dibeli dengan kekayaan
Ia bersemadi dalam jiwa
Yang tulus iklas dan penyayang.
Sedangkan unggas tahu ia disayangi
Apa lagi kita mannusia
Yang sempurna akalnya.

Melbourne, Australia April, 2010

Renungan Bersama



Kita sering dikejutkan dengan berita, keganasan, rusuhan, keruntuhan ahlak, bencana alam dan berbagai-bagai berita yang menyedihkan, tidak dapat diterima oleh akal yang siuman! Kita berastagafar berkali-kali, simpati dan ngeri bertapak di jiwa. Namun pepatah orang tua-tua, berat mata memandang, berat lagi bahu memikul!

Anak di rogol oleh bapa sendiri, anak di bunuh oleh orang tua sendiri dan sebaliknya! Mangsa-mangsa perang, mangsa-mangsa bencana alam bukan pinta mereka, kita cuma ikut simpati dan bersedih! Mereka mengeluh, adilkah ini semua? Dan kita hanya dapat mengeleng-gelengkan kepala, mengapa? Kenapa?

Antara sedih dan sesal, kita bersyukur kerana malapetaka tidak menimpa kita, saudara kita dan negara kita. Sesal dan mula rasa mahu bertaubat, kerana menyedari malang datang tanpaa diundang tanpa pesan. Dia datang sesuka hatinya! Dan semua itu member kita amaran bahawa ajal datang bila-bila!

Kesedihan
Tragedi
Pembunuhan
Kebencian
Dan airmata.

Kerakusan
Ketamakan
Keganasan
Kegelisahan
Kemarahan
Ketidak puasan hati.

Kita tersepit di celah-celah
Persengkataan
Kita serba salah
Siapa harus dipersalahkan.
Mungkin ada baiknya
Kita taburkan nilai kasih sayang
Kita curahkan timbunan cinta dan keprihatinan
Agar jalan lurus ke Syurga
Menjadi panduan generasi baru agar ada rasa kesyukuran
Ada hati yang budiman
Ada jiwa yang pengasih
Agar kekuasaan setan dapat dilawan!

August 2011, Kota Kinabalu

Thursday, August 4, 2011

Jera!

Pada dada kertas
Ku tulis luka di hati
Pada pena hitam ini
Kuluahkan rasa di jiwa
Agar alam mengetahui
Kecewa dalam dukaku
Agar alam percaya
Aku sudah jera
Aku sudah mengalah!

Kuala Lumpur – 21th July 2011

Tidak cukup lagikah?

Di lontarkan cemuhan yang membuat hati ini terluka
Kata-kata menghiris jiwa dan kalbu
Membuat hati ini terus berdarah
Tidak cukup lagikah
Kau ukir sejarah hitam dan pahit
Pada perjalanan hidup yang aku lalui?
Tidak puas lagikah hati mu
Melihat airmataku mengalir terus?
Apap yang kau mahu dariku
Nyawaku?

Lontaran kata dan cemuhmu
Cukup membuat jantung ini

Berhentu berdegup
Cukup membuat tangan ini
Mahu merobek dada ini
Menusuk hati ini dengan sembilu
Agar tubuh ini rebah
Dan jantung ini
Berhenti bernafas!

Jambatan Ampera, Palembang 19th July 2011

Andai aku bisa memutarkan kembali...

Aku tidak bisa memutarkan kembali
Saat-saat bahagia itu
Aku juga tidak bisa kembali
Kesaat-saat itu
Untuk memulai lagi di garis permulaan.

Langkahku hamper ke garisan penamat
Walau selesainya cerita ini
Belum ternyata kesudahannya
Namun...
Jalur-jalur jalanan yang aku lalui
Yang telah aku langkahi dan tinggalkan
Terlalu banyak manis, masam dan pahitnya
Aku tidak bias memetik madunya
Dan meninggalkan hampas derita di tepi jalanan tiu
Mereka tetap bersatu mengiringi setiap langkahku!

Andai aku bisa memutarkan kembali
Saat bermula di garisan permulaan dulu
Jiwa ini mungkin tak kan berdarah
Hati in mungkin tak kan robek
Pelayaran hidup ini mengkin tidak bergelora!

Sungai Musi – Palembang (18th July 2011)

Aku ingin terbang bersama angin

Aku ingin terbang bersama angin
Walau aku tak punya kepak
Aku ingin melayang bersama dedaun kering
Seperti angin bermain bersama pepohonya
Membiarkan daun melayang bersama angin
Bahagia menari-nari bersama nakalnya angin senja.

Aku ingin terbang bersama angin
Terbang mengapai kelipan bintang di langit
Agar bias menerangi hidupku
Yang sering malap dalam duka.

Aku ingin terus terbang
Terbang dan terbang lagi
Bagai burung bersayap lebar
Akanku terajui dunia ini
Akan ku kutip keping-keping bahagia
Bakal penganti cinta yang hilang
Penawar hati yang duka
Pembakar semangat yang patah!

Dan...Aku ingin terbang tinggi
Meninggalkan bumi yang sepi
Mungkin di langit tujuh
Bakalku temui, cinta sejati
Yang telah meninggalkan aku sendirian!


Palembang, Indonesia 17th July 2011

Wednesday, June 15, 2011

NOKUO MAH?

Nokuo mah
Osusa tomod koposizon diti
Nombo noh ie kasanangan
Au mimbuhai
Soumul-umulku do mindad
Nga au nogi mibuhai kasananagan diti
Nokuo mah?

Tuesday, June 14, 2011

SELAMAT TINGGAL GONSURAI


Selamat tinggal Gonsurai


Bukan senang untuk mengucapkan
Selamat Tinggal padamu Gonsurai
Suatu ketika dahulu...
Padamu tempat kami berhubung
Padamu tempat kami mengadu

Bukan kami lupa daratan
Bukan kami tidak menghargaimu
Nenek moyang kami yakin padamu
mentera dan petuamu
Jadi panduan dan pelita
Oleh nenek moyangku

Namun tiba masaku
Aku terpaksa mengucap selamat tinggal
Kerana peredaran zaman
Selamat tinggal Gonsurai
Walau kami tidak menganggumu lagi
Namun kami masih menyimpan
Khazanahmu, kepercayaan nenek moyang
Menjadi warisan buat jenerasi baru
Bahawa suatu ketika dulu
Padamu tempat nenek moyangku mengadu
Kepadamu tempat nenek moyangku memohon perlindungan.

Gaung toitom, Sunduk toitom, Sundavang, Kombuongoh
Tetapku simpan sebagai
Warisan pusaka
Yang tinggi nilainya!

Tumodoo kono Gonsurai...


Kota Kinabalu
March 2011

CORETANKU


Terbangun pagi ini dengan kerinduan membalut diri. Aku rindu pada mama dan papaku. Air mata mengalir, lalu kutulis coretan hati ini buat semua renungan bersama.

Terbayang kembali beberapa lawatan kerumah warga tua dan setiap hari terkenangkan ibu dan papa yang berada disana, hatiku terluka dan kerinduan dan sesal terus memeluk diri.

Pernah seorang ibu berkata sambil menangis "Dulu masa anak-anak kecil, bila mereka nakal, ibu selalu ugut mahu halau mereka keluar dari rumah, sekarang mereka sudah dewasa, tidak payah halau, mereka yang meninggalkan ibu!"

Subuh tadi aku menangis lagi teringat keluhuran hati orang tua yang membawa kita kedunia ini, yang sekarang ini tanggung jawab mereka kita sambung, tidak pernah mereka salahkan kitakan? malah mereka menyalahkan diri mereka kerana terlalu keras pada kita dahulu!

Tidak ada apa yang boleh kita balas pada mereka, walau kita keringkan darah dari tubuk kita, setitik keringat merekapun saya rasa kita tidak dapat balas! Kita hanya dapat berdoa semoga mereka dipanjangkan usia, sihat dan bahagia selalu dan pada mereka yang sudah meninggalkan kita, hanya doa dapat membantu mereka , agar mereka dapat ditempatkan di Syurga bersama orang orang yang beriman.

Dan...kini, mari kita letakkan diri kita di tempat mereka dulu...


kota kinabalu - 28/04/2011

RINTIHANKU!


3. RINTIHNKU
Aku hanya bisa memandang, mengeluh dan menyesali keadaan yang terjadi. Menoleh kebelakang aku teringat dan terbayang betapa kami berdiri gagah, tampan dan indah, mewarnai bumi ini.Betapa kami sama sama mengepak tangan, mencengkam kaki dengan utuh, mendamaikan bumi, mendinginkan suasana, melindungi setiap mahluk yang bernyawa.

Setiap deruan angin dan hembusan bayu, kami bernyanyi bersama, irama kami mendodoikan warga dunia, Mereka berdengkur kami tersenyum puas! Itu mau kami. melindundi kamu agar kamu bahagia. Biar warna ceria kami semakin memudar, hangat sinar mentari dan curahan hujan, kami sambut dengan jari jari dan urat erat kami agar ia tidak menyakiti kamu!

Arghhh! Aku tidak mahu berbicara banyak tentang kami, kamupun tahu...

Tapi kamu semakin angkuh! Semakin melihat kami sebagai penghalang pembangunan, lalu sedikit demi sedikit, kami kau bunuh! Kamu gantikan dengan bangunan pencakar langit! Cucu cucu kami hanya kau simpan dalam rumah bernama pasu!

Kamu biarkan kami terbakar mereput dibumi. Kamu tak nampak air mata kami! Kamu tak dengar tangisan kami! Namun ini yang terjadi, kami merintih sehingga hujung nafas kami.

Kami tidak menyumpah tapi kami menjerit!! Siapa akan menyelamatkan kamu lagi nanti?

DAN ternyata...

Bila bencana menganas, kamu bagai tubuh kerdil yang telanjang tanpa perlindungan dan pertahanan, tengellam di perut bumi.

Apa yang dapat kami buat? Hanya ikut merintih kerana kami tidak berdaya, kerana kami hanyalah bayang bayang masa lepas yang sudah tinggal arwah!


May 2011.
(coretan perasaan, mengenangi ribuan mangsa mangsa bencana alam sedunia) Semoga roh-roh mereka damai di Syurga dan yang tinggal dapat bersabar meneruskan kehidupan.

Monday, June 13, 2011

Rinduku

Andai aku bisa kembali
Membuka lembar-lembar kisah semalam
Hari ini aku tidak bakal mungkin
Mengucap selamat tinggal padamu.

Andai aku bisa kembali
Mengulangi cerita semalam
Aku pasti masih dipelukanmu
Berbahagia dengan pujuk cumbumu.

Namun itu cerita semalam
Cerita yang sudah lama aku tinggalkan
Kisah yang telah lama aku mau lupakan
Namun tetap masih menghijau dalam kenangan.

Hari ini menghadap jalan kedepan
Sesekali menoleh kebelakang
Untuk mengimbau cerita semalam
Dan hari ini hanya ada rindu
Rindu sebagai bekal perjalanan
Agar semalam tetap selamanya
Jangan hanya rindu dalam mimpi.


Kota Kinabalu.

FOR WHAT IT'S WORTH: 3 ethnics under one roof

FOR WHAT IT'S WORTH: 3 ethnics under one roof

Sunday, June 12, 2011

Resahku

Hati sering diketuk rasa resah
Ingin tahu apa bakal terjadi esok
Ingin bertanya adakah bahagia datang esok
dan ingin tahu apakah derita akan berakhir esok!

Hati sering dibaluti rasa takut
Adakah aku akan sendirian besok
Apakah aku akan kehilangan lagi esok
Apakah kegelapan akan datang lagi esok!

Maaf!
Keimananku tidak kental besi waja
Kesabaranku tidak segagah Gunung Kinabalu
Aku sudah jera!
Aku sering terluka!
Aku sering di lukai!
Aku selalu dilupakan!
Dan aku selalu pinggirkan!

Resahku membaluti diri setiap detik nadiku
Sedetikpun tiada sinar tulus kebahagian
Yang ada cuma tawaria lakunan semata!

KK 13th June 2011

Aku tidak takut lagi!

Perjalanan hidup ini mengajar diri
Menerima apa yang mendatang
Biarpun tidak semanis yang dipinta
Perjalanan harus ku teruskan
Mengharap besok pasti ada yang indah.

Perjalanan hidup mengajar diri
Bersyukur pada sahabat bernama derita
Yang mengajarku mengadun bentuk hidup
Memaafkan dan membuka lembaran baru
Tanpanya aku tak kenal bahagia.

Dan langkah langkah semalam
Ku tinggalkan penuh kepasrahan
Aku bakal merinduinya
Bila dia meninggalkan diri
Dan tidak mungkin bakalku temui lagi
Tirai cerita antara kita bakal ditutup
Namun perjalanan ini harus aku teruskan.

Kita pasti dapat melupakan
Desir ombak dan ciuman angin laut
Yang pernah menjadi saksi
Pernah ikut bahagia bersama perjalanan ini
Namun kenangan indah itu
Tidak mungkin luput dari kenangan.

Perjalanan hidup ini mengajar diri
Membuat aku kebal dan bersedia
Berdepan dan menghadapi
Biar sakit, biar pahit, biar pedih
Bisanya tidak mungkin mematahkan semangat ini lagi.
Aku akan terus melangkah!
Akan terus gagah dan angun!
Aku tidak takut pada derita lagi!

Harapanku

HARAPANKU

Hari ini aku menghitung hari lagi
Lusa, tahun ini akan meninggalkanku
Meninggalkan aku bersama parut parut luka
Yang tak bisa sembuh sampai bila bila
Dan lusa, tahun baru bakal memperkenalkan diri
Mungkin membawa harapan baru.

Insan menganyam azam baru
Menyimpul satu harapan menghijau
Agar hari-hari mendatang bakal terus cerah
Bahagia terus menemani diri sepanjang hari
Namun…
Aku masih seperti ini.

Dan….
Hari ini aku menghitung cerita lama
Terlalu banyak yang manis
Terlalu banyak yang pahit
Terlalu banyak harapan terkulai
Terlalu banyak janji di lupakan
Dan aku mula menghitung rasa
Berapa banyak air mata yang mengalir
Berapa dalam luka di hati
Berapa berapa sesal didada
Dan …berapa banyak jiwa yang telah aku lukai
Namun tidak sempat memohon kemaaafan.

Aku juga punya rasa
Punya keinginan
Punya azam membina harapan baru
Tidak kuasa menahan diri dari bertanya
Apa kah bahagia bakal menjelang tiba
Apakah hari-hari esok bakal menyinari hidupku
Bakal tercapaikah impianku
Atau ia seperti tahun ini juga?

Hari ini aku menghitung hari
Menghitung rasa
Ingin sajaku lupakan derita lama
Ingin saja aku membalut lukanya
Dengan titik bahagia yang pernahku lalui
Agar ia dapat menawarkan sakit dijiwaku
Yang sudah berjauh hati
Sudah hampir hilang harapan.

Saturday, June 4, 2011

Terpegun

Terpegun!
Lidah kelu tak bisa berbicara
Hanya perasaan berbaur seribu rasa
Keinsafan dan persoalan
Membalut seluruh jasadku.

Ada kesepian disini
Ada keimanan bercambah
Ada penyesalan bertapak.

Tauhid dan Sejarah yang pernahku baca
Lembar-lembar yang mungkin hanya bahan bacaan
Namun ketika berada disini
Terbayang insan-insan mulia
Para Nabi dan Rasul pilihan Tuhan.

Berada di tanah tinggi yang dilalui Nabi Musa
Ketika diturunkan amanat oleh Tuhan
Agar manusia berhenti menyembah berhala
Dan kembali kejalan yang benar
Airmata terus mengalir
Terbayang keperitan, percobaan dan keimanan
Di padang pasir yang kosong ini
Menyimpan berjuta cerita
Perjuangan, dakwah dan sengketa berkurun dahulu.
Dan…Aku hanya bias menyusun jari, menadah
Bersyukur kerana dapat memijak tanah suci ini.

Wednesday, April 6, 2011

SOPINSODU MIAGAL DITI

Au noilaan...
Sopinsodu miagal diti
Momovusod toinsanan timpu
Nga pomuhandam di omis pomolingos
Do langad.

Sopinsodu miagal diti
Somoonu momosurou oku
Langad toi nangku doho?
Toiko linihuan aku dika
Au noilaan!!!


Kota Kinabalu
April 2011

LANGADON OKU DIKA

Somoonu...
Langadon tomod oku dika
Kakal au kotorimo do katapatan

Somoonu...
Kakal opurimanan rinuol id lahawaku
Soira nokotorimo tapapnu kumoinsan nogi
Kakal opurimanan do hino kod hiti
Langadon tomod oku dika

Somoonu...
Koruba oku do tanak vagu
Ih avantang koongoi-ongoi do turosnu
Ginawoku osodu
Langadku mimbulai
Tinomod nangku do Kinoingan
Momonsoi tulun di miagal do kouvoson
Moi do langad om kinatagakan
Olingasan tosisikap.

Somoonu...
Sosolonku
Kasalaan dit winonsoiku
Ih nokoumbal do momonsoi
Ganit id ginavonu
Romounu di lumuyung.


Ranau, November 2010.

Sunday, April 3, 2011

Selamat Tinggal Gonsurai

Bukan senang untuk mengucapkan
Selamat Tinggal padamu Gonsurai
Suatu ketika dahulu...
Padamu tempat kami berhubung
Padamu tempat kami mengadu

Bukan kami lupa daratan
Bukan kami tidak menghargaimu
Nenek moyang kami yakin padamu
mentera dan petuamu
Jadi panduan dan pelita
Oleh nenek moyangku

Namun tiba masaku
Aku terpaksa mengucap selamat tinggal
Kerana peredaran zaman
Selamat tinggal Gonsurai
Walau kami tidak menganggumu lagi
Namun kami masih menyimpan
Khazanahmu, kepercayaan nenek moyang
Menjadi warisan buat jenerasi baru
Bahawa suatu ketika dulu
Padamu tempat nenek moyangku mengadu
Kepadamu tempat nenek moyangku memohon perlindungan.

Gaung toitom, Sunduk toitom, Sundavang, Kombuongoh
Tetapku simpan sebagai
Warisan pusaka
Yang tinggi nilainya!

Tumodoo kono Gonsurai...


Kota Kinabalu
March 2011