PERMATA HATIKU

PERMATA HATIKU
Anak-anak adalah pendorong untuk aku terus melangkah kedepan, mengharungi onak dan duri. Kerana mereka aku masih bertahan dan akan terus menyayangi mereka selama-lamanya.

Thursday, September 15, 2011

komen ke 15 dari bapak Dr Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 15. Untuk mengakhiri tulisan ini, aku merasa tertarik pada pertanyaan Ena Nakiah, anak perempuanku, seorang pengajar di sebuah universitas Jawa Timur, setelah membaca serie tulisan ini Serie 12, mengajukan pertanyaan cerdik: "Saya tertarik dengan tulisan puisi untuk "pengungkapan diri" Babe Kusni. Saya juga mempelajari tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis. Banyak yang tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus di bungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di tanah air Indonesia. Pertanyaan saya untuk Babe, Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?".Salam –Najlah. Berbicara tentang masalah “pengungkapan diri”“a river of no return” yang ia pilih untuk diharungi. ,membuatku selalu teringat akan W.S. [Willy Subrordus] Rendra [sekarang disebut Rendra], ingat akan saat-saat ketika kami sama-sama hidup di Yogya dalam keadaan serba kekurangan. Kami pernah boleh dikatakan seru;ah di jalan Sukun [sekarang jalan Mangunpranoto] Yogyakarta. Tapi Rendra berkeputusan untuk hidup sebagai seniman , apapun resikonya. Kesusasteraan bagi Mas Willy, demikian aku memanggilnya, merupakan Menjadi seniman dengan segala resiko atau konsekwensinya nampaknya juga dianuti oleh banyak seniman-seniman lain antara lain seperti Teguh Karya, Kus Hendratmo, dan lain-lain… Dalam sebuah percakapannya di TVRI Jakarta, Kus Hendratmo antara lain mengatakan bahwa untuk menjadi seniman yang serius dengan capaian yang serius , tidak bisa dilakukan dengan amatiran. Pandangan dan sikap ini juga kudapatkan pada rombongan ketoprak Krido Mardi Yogyakarta yang memilih hidup-mati dari ketoprak. Barangkali kesimpulan ini dicapai karena sastra memang adalah suatu totalitas. Sebaris dua puisi pun adalah hasil dari totalitas demikian juga, hasil dari pergulatan, perenungan, pencarian pikir dan rasa yang total di jalan mimpi sebagai seniman. Dan seniman memang tidak lain dari seorang pencari sarat mimpi. Sebagai pencari dengan mimpi seluas galaksi, betapa pun sunyinya , justru ia akan merasa sangat sakit jika hak mengungkapkan dirinya diberangus atau dibatasi. Mengungkapkan diri adalah suatu keperluan mendasar bagi semua orang”, ujar Rendra ketika ia kutemui di Gampingan Yogyakarta , beberapa dasawarsa yang silam. Waktu itu , Rendra baru saja nikah dengan Mbak Soenarti Soewandi, penyanyi terkemuka pada zamannya. Di Gampingan keduanya hidup dalam keadaan sangat minim. Makan nasi hanya dengan garam, dan Mbak Narti demi cinta sanggup menjalaninya. Menyambut gembira kedatanganku yang memang mereka harap-harapkan Mas Willy melanjutkan pernyataan girangnya: ‘‘Mengungkapkan diri dalam berbagai bentuk, seperti marah, menangis, berteriak, tertawa, diam, dan lain-lain …. suatu keperluan dan hak dasar manusia. Dan kepadamu aku bisa ungkapkan diri secara leluasa”. Aku sendiri merasakan langsung sakitnya orang yang diberangus hak bicaranya baik pada masa kekuasaan Orba Soerhato maupun pada waktu aku bekerja di Palangka Raya sebagai sebagai guru sederhana di sebuah universitas kecil di ibukota Kalteng ini –yang justru merupakan kampung kelahiranku sendiri . Pemberangusan hak bicaraku di depan publik baik lisan atau pun tertulis dikenakan setelah usai konflik antar etnik yang sangat berdarah tahun 2001. Pemberangusan inilah yang memaksaku menulis di bawah 30 puluhan nama samaran. Dari apa yang kualami langsung sejak lebih dari tiga dasawarsa dan juga pengalaman orang-orang lain serta negeri-negeri lain, maka kukira sangat tepat apadan benar apa yang dikatakan oleh anak perempuanku tersayang, Ena Nakiah alias Najlah bahwa ‘pengungkapaan diri merupakan sesuatu yang mahal di tanahair Indonesia’. Bahkan hanya ‘sesuatu yang mahal’ bahkan sering sangat mahal karena tidak jarang ia harus dibayar dengan kepala dan nyawa. Karenanya aku sempqat berpikir ‘janganlah jadi sastrawan kalau takut melawan arus dan takut memberontak”. Kalau menggunakan istilah pengarwang Tiongkok, Lu Sin: ‘Janganlah jadi sastrawan kalau takut jadi gila’. Dunia yang garang dan tak punya belaskasihan. Pemberangusan dan pembatasan hak mengungkapkan diri, kukira ,sekaligus mempertontonkkan keadaan bahwa di negeri itu tidak ada kebebasan, memperlihatkan adanya penindasan dasar yang paling tidak manusiawi sedang berlangsung. Karena pengungkapan diri merupakan sesuatu yang alami maka ia seperti arus akan selalu mencari muara dan mencari jalan keluar betapa pun ia dibendung. Ia pun seperti angin yang berhembus di angkasa mengelanai penjuru tanpa perduli gunung dan rimbaraya. Pengungkapan diri selain merupakan hak, ia juga merupakan keperluan. Suatu ‘kebutuhan’ jika menggunakan istilah orang Jawa. [Aku katakan ungkapan orang Jawa, karena kata ‘butuh’ di daerah lain mempunyai konotasi lain lagi, Ena puteriku saying, perbedaaan arti yang menunjukkan betapa beragamnya budaya dan bahasa tanahair, keragaman yang membanggakan sebagaimana kau selalu membanggakannya, anakku Sayang, sehingga kau selalu menolak alur pikir ‘asas tunggal’ atau ‘la pensee unique’! Jilbab di kepalamu tak membelenggu kepak sayap-sayap pikiranmu mengelana bebas ke mana-mana di galaksi misteri. Inilah yang membuat Babe bangga pada kau, anakku Sayang]. Hanya penindas yang takut pada kebebasan pengungkapan diri. Penindas biasanya menabur jala penindasan guna menjaring orang-orang yang berbeda pendapat dan bersamaan dengan itu si penindas menabur tuba ketakutan di langit kehidupan. Takut dan penindasan adalah dua sahabat akrab dalam memusuhi kemanusiaan. Takut dan penindasan mengharapkan orang pasrah pada nasib dan memuja takdir, ujud dari eskapisme atau pola pikir dan mentalitas yang memang dibentuk serta diharapkan oleh penindas. Tuhan,dewa-dewi dan para malaikat diperosotkan sebagai kepala sipir dan menjadikan para perempuan jadi penghuni ‘harem’ berskala dunia serta barang dagangan, padahal perempuan adalah ‘penyangga separo langit’. Kebebasan suatu bangsa dan negeri tercermin juga dari posisi kaum perempuannya. Keadaan begini biasanya mempunyai kaitan, terutama dengan tatanan sosial-ekonomi ywng kemudian memusatkan ungkapan diri pada politik. Banyak sistem atau nilai dominan dalam masyarakat yang menempatkan para perempuan bahkan manusia umumnya sebagai tawanan suatu system dan nilai dominan tidak lain dari suatu penjara belaka. Karena itu sering kukatakan bahwa puisi sebagai sarana pengungkapan diri sesungguhnya berfungsi selain berfungsi sebagai benteng membela hak dasar anak manusia tapi juga merupakan sarana pembebasan diri. Bentuk pemberontakan. Kalau dicermati benar, maka fungsi puisin yang begini nampak dari puisi-puisi Kathirina Susanna serta proses pencarian dan pembebasan diri penyair dari Kota Kinibalu –suatu masyarakat yang didominasi oleh nilai maskulinisme , apalabila kita pelajari teks-teks karya sastra yang disiarkan. Apakah Indonesia bebas dari maskulinisme? Dengan mengamati ‘puisi-puisi Nopember’ nya saja , kita melihat kegelisahan dan pemberontakan Kathirina terhadap nilai dominan maskulinisme di Sabah, pemberontakan yang memperlihatkaqn bahwa penyair ingin menjadi anak manusia dengan segala martabat dan harkat yang menyertai predikat anak manusia sekalipun kebetulan ia lahir dengan kelamin seorang perempuan. Dalam ‘puisi-puisi Nopember’nya, aku lihat benar kegelisahan Kathirina yang dari menyerah pada takdir, pasrah pada nasib kemudian meragukannya serta mencoba bangkit menjadi anak manusia. ‘Puisi-puisi Nopember 2005’ Kathirina, bagiku, adalah puisi-puisi yang berfungsi sebagai benteng dan arena pemberontakan seorang perempuan untuk menjadi anak manusia, puisi-puisi yang merupakan pengejawantahan posisi seorang seorang penyair sebagai ‘free thinker’, warga republik berdaulat sastra-seni. Puisi pencarian jati diri seorang anak manusia. ‘Puisi-puisi Nopember 2005’ Kathirina adalah juga ungkapan kegelisahan penyair yang tak pernah usai bertanya, pencarian spiritualitas dan nilai yang selalu sampai pada koma serta tak punya titik. Setelah membaca karya-karya sastra Sabah yang disarkan baik di watan_sabah atau pun kemsas, milis resmi Ikatan Penulis Sabah [IPS], bersama esais, Rem yang sekarang sedang menunaikan program Ph.D-nya di Norwich [juga seorang Dayak], Kathirina Susanna [Dayak Kadasan] mempunyai posisi unik dalam dunia sastra Sabah , Malaysia Timur. Aku tidak tahu bagaimana masyarakat sastra Sabah memperlakukan dua penulis penentang arus ini. Apakah dikucilkan atau diperlakukan tanpa diskriminasi sekali pun berada di luar nilai dominan? Jika masyarakat Sabah bisa menghargai perbedaaan dan keragaman ini,maka aku hanya bisa berbangga hati karena dengan demikian Sabah telah memberikan teladan paling tidak bagi Kalimantan-Borneo dalam pengembangan sastra-seni yang sehat di pulau raya ini terhadap mana aku sangat terikat daqn berhutang moral. Sebaliknya dari pihak Rem dan Kathirina, bersama waktu, aku berdiri di samping yang jauh melihat perkembangan mereka lebih lanjut karena sebagaimana pepatah Tiongkok lama mengatakan ‘daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh’. Waktu sepuluh tahun berpuisi tidak cukup berkata apa-apa bagi seorang sastrawan, juga penyair, apalagi jika kita sepakat bahwa sastra adalah suatu totalitas sastrawan yang keluar dari amatirisme. Sastra adalah suatu gambaran dunia yang dimimpikan sang penyair dalam berbagai nada irama entah itu sendu, gembira, melankoli, atau pun meratap , dalam megaturh atau pun dandanggula atau pun sansana dans sebagainya. Sastra adalah kalimat tanya yang disertai oleh koma dan bukan titik. Dan sejauh ini, koma inilah yang kulihat pada Kathirina. Tapi sampai kapan, hanya Kathirina sendiri yang bisa menjawabnya. Sekarang, kembali pada pertanyaan anak perempuanku Ena Nakiah yang juga selalu gelisah: ‘Bagaimana agar raya bisa bisa memulai secara jelas mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?”. Paris, Nopember 2005 ---------------------------- JJ. Kusni

No comments:

Post a Comment