PERMATA HATIKU

PERMATA HATIKU
Anak-anak adalah pendorong untuk aku terus melangkah kedepan, mengharungi onak dan duri. Kerana mereka aku masih bertahan dan akan terus menyayangi mereka selama-lamanya.

Friday, October 7, 2011

KADA KIVAO KAUS

Kada Kivao Kaus Insan tokou mamanau ngoduvo Humozog doid kadaatan tagazo Insan tokou huma’ang ngoduvo Sumunsui lahan noponu himbato Insan Pada’u tokou nababas nosongou Insan takod tokou nakazaa nokoimpau do humbisang tobisa. Insan tokou ko-loso lati kounsikaan Insan tokou momoloso i-nomis do paa Insan tokou popionit hizab do sogigisom kito poinpasi ngoduvo Om Insan tokou monidong Pampang di tavakas om osindak, om dotokou ngoduvo. Okon ko pama babang hinasu do tadau oovit gisom kotonobon Asam ie pama di tahib tangaadau Pada’u pinosukod notohon do uvab tagazo Pampang tosindak nomomos nouta Hizab tokou nouhun napansa Om sundung potuu do mongimbabas tokou Mogovit haang di misuvai lahan. Om Kada kiva oh kaus ditto Kada kiva kopoitan doid tunuundu ditto Sabab lahan ditti okon ditto Om okon nogi di pokinuon ditto.

Ibu

Pagi yang hening ini Membaca luahan rasa temanku tentang seorang ibu Lewat puisi menghambat rasa Ibu wanita terpilih olen Tuhan Melahirkan dan menyayangi kami Walau tetap ada silap sana sini Namun kau tetap mulia di hati kami. Ibu.. Tuhan berikan sekeping hati dan jiwa yang murni Berkorban demi kami semua Menjadi banteng pada kelemahan kami Menjadi pendorong agar terus maju Meluahkan kasih dan sayang selautan benua Apa lagi yang kami mahu Apa lagi yang kami sesalkan Hanya teerkilan kerana tak mampu membalas Walau setitik keringat pengorbananmu! Ibu… Semoga kau damai di sana Kami hanya dapat mendoakan Doa pada Tuhan yang satu Sebagai pembalas kasih sayangmu! Semoga Tuhan terus menyayangimu di sana Seperti kau menyayangi kami dahulu. October 2011 - KK

Friday, September 16, 2011

Salam dari pergunungan

Merenung keindahan bukit bukau mendampingi Gunung Kinabalu Walau di sepanjang tubuhmu Sudah banyak luka luka Perbuatan tebus guna pasti telah menyakiti tubuhmu! Banjaran Kroker... Terlalu banyak perubahanmu Namun ini semua tidak dapat dielakkan Maafkan kami... Kerna terpaksa memperkosa dirimu Bangunan baru bakal membantu wargamu Agar kehidupan lebih meningkat lagi. Namun ada penjuru dirimu Pasti akan terpelihara kesuciannya Kerna engkau jadi penyelamay dunia Penyelamat mahluk ciptaan Tuhan. Benteng penahan pada pencemaran alam! Kau pasti bangga Seluruh pelusuk dunai Teringin mengecapi keamanan banjaranmu Ingin menikmati tidur yang enak dan aman dibawah kakimu dan disekeliling tubuhmu Bagai bayi dalam gendongan Kau mendakap mereka dengan kasihmu. Dan... Pasti pulangnya mereka nanti Namamu tersebar luas Kasih dan cintaamu Bakal mendakap setiap rasa diseluruh bumi ciptaan Tuhan. mereka bakal kembali lagi Mereka akan membawa kekasih-kekasih hati yang lain Untuk menikmati kasih sayangmu. 16/09/2011 Kundasang.

Thursday, September 15, 2011

komen ke 15 dari bapak Dr Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 15. Untuk mengakhiri tulisan ini, aku merasa tertarik pada pertanyaan Ena Nakiah, anak perempuanku, seorang pengajar di sebuah universitas Jawa Timur, setelah membaca serie tulisan ini Serie 12, mengajukan pertanyaan cerdik: "Saya tertarik dengan tulisan puisi untuk "pengungkapan diri" Babe Kusni. Saya juga mempelajari tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis. Banyak yang tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus di bungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di tanah air Indonesia. Pertanyaan saya untuk Babe, Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?".Salam –Najlah. Berbicara tentang masalah “pengungkapan diri”“a river of no return” yang ia pilih untuk diharungi. ,membuatku selalu teringat akan W.S. [Willy Subrordus] Rendra [sekarang disebut Rendra], ingat akan saat-saat ketika kami sama-sama hidup di Yogya dalam keadaan serba kekurangan. Kami pernah boleh dikatakan seru;ah di jalan Sukun [sekarang jalan Mangunpranoto] Yogyakarta. Tapi Rendra berkeputusan untuk hidup sebagai seniman , apapun resikonya. Kesusasteraan bagi Mas Willy, demikian aku memanggilnya, merupakan Menjadi seniman dengan segala resiko atau konsekwensinya nampaknya juga dianuti oleh banyak seniman-seniman lain antara lain seperti Teguh Karya, Kus Hendratmo, dan lain-lain… Dalam sebuah percakapannya di TVRI Jakarta, Kus Hendratmo antara lain mengatakan bahwa untuk menjadi seniman yang serius dengan capaian yang serius , tidak bisa dilakukan dengan amatiran. Pandangan dan sikap ini juga kudapatkan pada rombongan ketoprak Krido Mardi Yogyakarta yang memilih hidup-mati dari ketoprak. Barangkali kesimpulan ini dicapai karena sastra memang adalah suatu totalitas. Sebaris dua puisi pun adalah hasil dari totalitas demikian juga, hasil dari pergulatan, perenungan, pencarian pikir dan rasa yang total di jalan mimpi sebagai seniman. Dan seniman memang tidak lain dari seorang pencari sarat mimpi. Sebagai pencari dengan mimpi seluas galaksi, betapa pun sunyinya , justru ia akan merasa sangat sakit jika hak mengungkapkan dirinya diberangus atau dibatasi. Mengungkapkan diri adalah suatu keperluan mendasar bagi semua orang”, ujar Rendra ketika ia kutemui di Gampingan Yogyakarta , beberapa dasawarsa yang silam. Waktu itu , Rendra baru saja nikah dengan Mbak Soenarti Soewandi, penyanyi terkemuka pada zamannya. Di Gampingan keduanya hidup dalam keadaan sangat minim. Makan nasi hanya dengan garam, dan Mbak Narti demi cinta sanggup menjalaninya. Menyambut gembira kedatanganku yang memang mereka harap-harapkan Mas Willy melanjutkan pernyataan girangnya: ‘‘Mengungkapkan diri dalam berbagai bentuk, seperti marah, menangis, berteriak, tertawa, diam, dan lain-lain …. suatu keperluan dan hak dasar manusia. Dan kepadamu aku bisa ungkapkan diri secara leluasa”. Aku sendiri merasakan langsung sakitnya orang yang diberangus hak bicaranya baik pada masa kekuasaan Orba Soerhato maupun pada waktu aku bekerja di Palangka Raya sebagai sebagai guru sederhana di sebuah universitas kecil di ibukota Kalteng ini –yang justru merupakan kampung kelahiranku sendiri . Pemberangusan hak bicaraku di depan publik baik lisan atau pun tertulis dikenakan setelah usai konflik antar etnik yang sangat berdarah tahun 2001. Pemberangusan inilah yang memaksaku menulis di bawah 30 puluhan nama samaran. Dari apa yang kualami langsung sejak lebih dari tiga dasawarsa dan juga pengalaman orang-orang lain serta negeri-negeri lain, maka kukira sangat tepat apadan benar apa yang dikatakan oleh anak perempuanku tersayang, Ena Nakiah alias Najlah bahwa ‘pengungkapaan diri merupakan sesuatu yang mahal di tanahair Indonesia’. Bahkan hanya ‘sesuatu yang mahal’ bahkan sering sangat mahal karena tidak jarang ia harus dibayar dengan kepala dan nyawa. Karenanya aku sempqat berpikir ‘janganlah jadi sastrawan kalau takut melawan arus dan takut memberontak”. Kalau menggunakan istilah pengarwang Tiongkok, Lu Sin: ‘Janganlah jadi sastrawan kalau takut jadi gila’. Dunia yang garang dan tak punya belaskasihan. Pemberangusan dan pembatasan hak mengungkapkan diri, kukira ,sekaligus mempertontonkkan keadaan bahwa di negeri itu tidak ada kebebasan, memperlihatkan adanya penindasan dasar yang paling tidak manusiawi sedang berlangsung. Karena pengungkapan diri merupakan sesuatu yang alami maka ia seperti arus akan selalu mencari muara dan mencari jalan keluar betapa pun ia dibendung. Ia pun seperti angin yang berhembus di angkasa mengelanai penjuru tanpa perduli gunung dan rimbaraya. Pengungkapan diri selain merupakan hak, ia juga merupakan keperluan. Suatu ‘kebutuhan’ jika menggunakan istilah orang Jawa. [Aku katakan ungkapan orang Jawa, karena kata ‘butuh’ di daerah lain mempunyai konotasi lain lagi, Ena puteriku saying, perbedaaan arti yang menunjukkan betapa beragamnya budaya dan bahasa tanahair, keragaman yang membanggakan sebagaimana kau selalu membanggakannya, anakku Sayang, sehingga kau selalu menolak alur pikir ‘asas tunggal’ atau ‘la pensee unique’! Jilbab di kepalamu tak membelenggu kepak sayap-sayap pikiranmu mengelana bebas ke mana-mana di galaksi misteri. Inilah yang membuat Babe bangga pada kau, anakku Sayang]. Hanya penindas yang takut pada kebebasan pengungkapan diri. Penindas biasanya menabur jala penindasan guna menjaring orang-orang yang berbeda pendapat dan bersamaan dengan itu si penindas menabur tuba ketakutan di langit kehidupan. Takut dan penindasan adalah dua sahabat akrab dalam memusuhi kemanusiaan. Takut dan penindasan mengharapkan orang pasrah pada nasib dan memuja takdir, ujud dari eskapisme atau pola pikir dan mentalitas yang memang dibentuk serta diharapkan oleh penindas. Tuhan,dewa-dewi dan para malaikat diperosotkan sebagai kepala sipir dan menjadikan para perempuan jadi penghuni ‘harem’ berskala dunia serta barang dagangan, padahal perempuan adalah ‘penyangga separo langit’. Kebebasan suatu bangsa dan negeri tercermin juga dari posisi kaum perempuannya. Keadaan begini biasanya mempunyai kaitan, terutama dengan tatanan sosial-ekonomi ywng kemudian memusatkan ungkapan diri pada politik. Banyak sistem atau nilai dominan dalam masyarakat yang menempatkan para perempuan bahkan manusia umumnya sebagai tawanan suatu system dan nilai dominan tidak lain dari suatu penjara belaka. Karena itu sering kukatakan bahwa puisi sebagai sarana pengungkapan diri sesungguhnya berfungsi selain berfungsi sebagai benteng membela hak dasar anak manusia tapi juga merupakan sarana pembebasan diri. Bentuk pemberontakan. Kalau dicermati benar, maka fungsi puisin yang begini nampak dari puisi-puisi Kathirina Susanna serta proses pencarian dan pembebasan diri penyair dari Kota Kinibalu –suatu masyarakat yang didominasi oleh nilai maskulinisme , apalabila kita pelajari teks-teks karya sastra yang disiarkan. Apakah Indonesia bebas dari maskulinisme? Dengan mengamati ‘puisi-puisi Nopember’ nya saja , kita melihat kegelisahan dan pemberontakan Kathirina terhadap nilai dominan maskulinisme di Sabah, pemberontakan yang memperlihatkaqn bahwa penyair ingin menjadi anak manusia dengan segala martabat dan harkat yang menyertai predikat anak manusia sekalipun kebetulan ia lahir dengan kelamin seorang perempuan. Dalam ‘puisi-puisi Nopember’nya, aku lihat benar kegelisahan Kathirina yang dari menyerah pada takdir, pasrah pada nasib kemudian meragukannya serta mencoba bangkit menjadi anak manusia. ‘Puisi-puisi Nopember 2005’ Kathirina, bagiku, adalah puisi-puisi yang berfungsi sebagai benteng dan arena pemberontakan seorang perempuan untuk menjadi anak manusia, puisi-puisi yang merupakan pengejawantahan posisi seorang seorang penyair sebagai ‘free thinker’, warga republik berdaulat sastra-seni. Puisi pencarian jati diri seorang anak manusia. ‘Puisi-puisi Nopember 2005’ Kathirina adalah juga ungkapan kegelisahan penyair yang tak pernah usai bertanya, pencarian spiritualitas dan nilai yang selalu sampai pada koma serta tak punya titik. Setelah membaca karya-karya sastra Sabah yang disarkan baik di watan_sabah atau pun kemsas, milis resmi Ikatan Penulis Sabah [IPS], bersama esais, Rem yang sekarang sedang menunaikan program Ph.D-nya di Norwich [juga seorang Dayak], Kathirina Susanna [Dayak Kadasan] mempunyai posisi unik dalam dunia sastra Sabah , Malaysia Timur. Aku tidak tahu bagaimana masyarakat sastra Sabah memperlakukan dua penulis penentang arus ini. Apakah dikucilkan atau diperlakukan tanpa diskriminasi sekali pun berada di luar nilai dominan? Jika masyarakat Sabah bisa menghargai perbedaaan dan keragaman ini,maka aku hanya bisa berbangga hati karena dengan demikian Sabah telah memberikan teladan paling tidak bagi Kalimantan-Borneo dalam pengembangan sastra-seni yang sehat di pulau raya ini terhadap mana aku sangat terikat daqn berhutang moral. Sebaliknya dari pihak Rem dan Kathirina, bersama waktu, aku berdiri di samping yang jauh melihat perkembangan mereka lebih lanjut karena sebagaimana pepatah Tiongkok lama mengatakan ‘daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh’. Waktu sepuluh tahun berpuisi tidak cukup berkata apa-apa bagi seorang sastrawan, juga penyair, apalagi jika kita sepakat bahwa sastra adalah suatu totalitas sastrawan yang keluar dari amatirisme. Sastra adalah suatu gambaran dunia yang dimimpikan sang penyair dalam berbagai nada irama entah itu sendu, gembira, melankoli, atau pun meratap , dalam megaturh atau pun dandanggula atau pun sansana dans sebagainya. Sastra adalah kalimat tanya yang disertai oleh koma dan bukan titik. Dan sejauh ini, koma inilah yang kulihat pada Kathirina. Tapi sampai kapan, hanya Kathirina sendiri yang bisa menjawabnya. Sekarang, kembali pada pertanyaan anak perempuanku Ena Nakiah yang juga selalu gelisah: ‘Bagaimana agar raya bisa bisa memulai secara jelas mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?”. Paris, Nopember 2005 ---------------------------- JJ. Kusni

Dan aku membaca lagi komen Dr.Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 16 ‘Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?’. Pertanyaan ini mengandung isi antara lain: [1]. Situasi di mana rakyat itu hidup; [2]. Siapakah yang dimaksudkan dengan rakyat? [3]. Jalan keluar dari situasi. Mengenai soal pertama, Ena Nakiah yang selalu manja dan terbuka pada Babenya melukiskan keadaan di mana ‘rakyat’ Indonesia dalam kata-kata: “Banyak yang tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus dibungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di tanahair Indonesia”. Kalau mengungkapkan diri disepakati sebagai hak dasar atau hakiki anak manusia tapi justru hak dasar dan hakiki ini “banyak yang harus dibungkam dan dihilangkan” , termasuk “banyak tangis” maka berarti di Indonesia terdapat pelanggaran atas hak dasar dan hakiki anak manusia ini. Sampai orang menangis pun dibungkamkan dan dihilangkan. Menangis pun di Indonesia ‘menjadi suatu yang mahal’. Keadaan demikian melukiskan adanya penindasan luarbiasa di Indonesia. Penindasan luarbiasaa ini, tentu saja berdampak langsung pada pola pikir, mentalitas dan psikhologis penduduk. Daya kritik ditumpulkan. Yang tumbuh subur adalah budaya patuh, mentalitas budakisme yang sanggup mencampakkan harkat dan martabat diri sebagai anak manusia, ketakutan terhadap ajal dan ancaman penghilangan, ketidakmampuan mengatakan tidak, eskapisme, pasrah dan tumbuhnya budaya takdir. Dalam suasana begini ,manusia sesungguhnya sudah kehilangan kemanusiaan dan rasa kemanusiaan apalagi harkat dan martabat kemanusiaaan. Mistisisme pun menjadi subur sebagai tempat pelarian ‘jiwa-jiwa mati’, jika menggunakan istilah N.Gogol, pengarang Russia itu. ‘Jiwa-jiwa mati’ bergentayangan di jalan-jalan bumi tanahair. Orang0rang mati sebelum mati, sebagaimana juga telah dilukiskan oleh Rendra dalam antologi puisinya ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’ – bungarampai puisi yang kukira perlu dijadikan rujukan oleh Ena Nakiah dalam kajiannya ‘tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis’. Masalah psikhologis, bagiku, kumaksukkan hanya sebagai bagian dari masalah pola pikir dan mentalitas dan yang di Perancis merupakan salah satu obyek studi dari antropologi mentalitas –sebuah cabang ilmu antropologi yang cukup berkembang di sini. Apabila mengamati keadaan di lapangan, artinya keadaan di Indonesia, juga mencermati tulisan-tulisan di dunia maya, kalau pengamatanku benqr, maka kerusakan pola pikir, termasuk masalah psikhologis masyarakat kita merupakan kerusakan mendasar dan sangat rusak yang paling hakiki . Jika mengatakan bahwa ‘masyarakat sedang sakit’ , ‘Indoneisa is the sick men of Asia’ , maka kerusakan dan sakitnya bangsa dan masyarakat kita, justru terdapat di bidang ini. Untuk bangkit kembali dan bangkit sebagai anak manusia, maka pertama-tama yang patut disentuh dan disembuhkan adalah penyakit di bidang ini sebagaima dulu Lu Sin melihat Tiongkok pada tahun 1920-an sehingga ia membatalkan keinginan menjadi dokter medis dan memilih profesi sebagai pengarang. Karena itu, kajian yang sedang kau lakukan Ena anakku, kukira sangat hakiki. Aku sebagai Babe-mu hanya berharap agar kau jangan tanggung dan memaafkan diri dalam mengaji masalah. Kau sebagai ilmuwan patut belajar dari semangat dan teladan Socrates atau Gelileo. Jangan takut berada di luar ‘main stream’, Ena Nakiah, anak perempuanku sayang. ‘Main stream’ , nilai dominan suatu waktu tidaklah sama sebangun dengan kebenaran dan kemanusiaan. Harapan ini pun kusampaikan pada Kathirina sebagai sesama Dayak, yang melalui ‘Puisi-puisi Nopember’nya kulihat ada kecenderungan pasrah pada ‘takdir’ dan menempuh jalan ‘eskapisme’ atau kepasrahan membatu yang hanya menghancurkan diri. Menjadi anak manusia dengan segala nilai kandungannya, kukira perlu keberanian membela dan mengembangkan kadar kemanusiaan. Menjadi anak manusia bukanlah tanpa pertarungan. Justru menagih keberanian bertarung untuk menjadi manusia. Di sinilah antara lain makna kata-kata Chairil Anwar ‘sekali berarti sudah itu mati’. Ketika kita meninggalkan rahim sang ibu, kita tidak serta-merta menjadi anak manusia.Menjadi manusia adalah suatu proses pertarungan menjadi manusia. Masalah menjadi manusia dengan nilai-nilai kandungannya, kukira menjadi soal sentral bagi kita dewasa ini. Pengungkapan diri merupakan salahsatu cara untuk menjadi manusia karena itu puisi kukatakan adalah alat pemberontakan terhadap hal-hal yang tidak manusiawi dan proses dari penyair untuk menjadi manusia. Bukan karena sudah menulis satu dua syair maka penyair serta-merta menjadi manusia. Tapi masalah ini bisa dijadikan kajian khusus dan bahan-bahannya cukup tersedia, dan bertimbun berlumbung-lumbung di dunia maya dan media cetak tanahair serta negeri-negeri lain. Hanya orang yang yang tidak menghargai arti pengungkapan diri , menganggap bahwa bahan-bahan berharga untuk memahami manusia, yang memandang bahan-bahan berlumbung-lumbung ini sebagai timbunan sampah dan memandang yang terdapat di media cetak sebagai emas. Ini pun suatu kadar dan tingkat pemahaman yang ‘baru sebegitu saja’. Penyair bagiku adalah suatu kadar kemanusiaan. Kemanusiaan dari berbagai tingkat atau karat. Karena itu bagiku sangat menarik pernyataan Rendra: “ Ya! Ya! Akulah seorang tua! Yang capek tapi belum menyerah pada mati. Kini aku berdiri di perempatan jalan. Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing. Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak, Sebagai seorang manusia”. Tidakkah di negeri kita terdapat bahkan berdominasi orang-orang yang bertubuh ‘sudah menjadi anjing’ tapi jiwanya pun ‘sudah menjadi anjing’ serta tidak mampu bukan hanya menulis sajak tapi tidak bisa memahami arti sajak?! Barangkali anjing pun punya harga diri, karena jika ia disentuh , ia akan menggonggong dan menerjang si pengganggu. Antologi Rendra ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’, kuanggap sebagai lukisan keadaaan pola pikir, mentalitas dan psikhologi manusia Indonesia pada suatu periode, lepas dari adanya kritik yang mengganggap antologi ini sebagai kehilangan puitisitas – kritik yang bisa diperdebatkan lebih lanjut dan rinci. Sastra-seni, kukira, justru bergulat dengan masalah pola pikir dan mentalitas, di mana psikhologi hanya merupakan bagiannya. Sastra-seni , selayaknya, paling tidak selangkah berada di depan kenyataan, menggambarkan dunia yang dimimpikan , serta tokoh-tokoh yang diharapkan bisa mewujudkan mimpi itu. Dalam konteks membicarakan puisi-puisi Kathirina, manusia bagaimana yang disenandungkan oleh penyair Kota Kinibalu ini sebagai tokoh ideal? Tokoh yang pasrah , tokoh yang menganggap segalanya adalah takdir? Terus-terang jika tokoh begini yang diharapkan sebagai pembangun mimpi, kita hanya akan melihat bersimarajalelanya ketidakadilan. Di sinilah kukira, seorang penyair sebagai seorang pemimpi, ada keniscayaan untuk mensistematikkan mimpi-mimpinya. Kalau pun si penyair menangis, tangisnya berada dalam lingkup mimpi-mimpi agungnya tentang kemanusiaan yang patut dipertarungkan untuk bisa berdominasi, bukan untuk diletakkan di bawah tumit sepatu atau dilemparkan ke comberan. Puisi adalah suatu pemberontakan manusiawi, seperti dikatakan oleh Chairil Anwar: “Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi” Masihkah kita, masihkah bangsa dan anak bangsa ini , apakah Kathrina , si penyair Kota Kinibalu, si puteri Dayak Kadasan itu yang sesungguhnya berkonsep dasar ‘Dayak Anak Panarung’, memiliki pola pikir dan mentalitas begini? Terus-terang, sebagai sesama Dayak, aku ingin Kathirina bisa menjadi Dayak Kekinian yang tidak mencampakkan nilai-nilai tanggap budaya leluhur yang hari ini tanpa dipahami sudah dinilai sebagai kadaluwarsa sampai-sampai ada yang malu mengaku diri sebagai Dayak. Ini pun ujud dari kerusakan pola pikir dan mentalitas yang dihadapi manusia Dayak. Mengapa ada pelanggaran hak dasar manusiawi demikian serius di tanahair? Di mana sumber keadaan begini? Ini pun merupakan bagian isi perrtanyaan anak perempuanku yang memang kian cantik dengan berjilbab sekali pun baginya jilbab bukan sesuatu yang hakiki. Sebagai ilustrasi, ingin kuceritakan bahwa Ena selalu minta komentarku tentang jilbabnya dan kujawab agar jangan terlalu rapat-rapat: ‘Kenakan secara artistik, dong Sayang.Jangan ndesit-ndesit amat!’ ‘Gini Be?’ ‘Rambutmu jangan penuh ditutup dong’ ‘Gini?’ ‘Aa, itu dia, Sayang’ Ena ketawa puas dengan dandanan jilbabnya. Kami berdua ngakak. Mengakaki kehidupan, penampilan raga dan hakekat yang sering tercecer. C’est la vie, inilah kehidupan, ujar orang Perancis mengungkapkan toleransi sementara di tanahair toleransi agaknya jadi lahan tandus. ‘Babeku gila, tapi Ena sayang pada Babenya yang nyentrik.Babeku hebat’, demikian selalu Ena berkata sebelum berangkat meninggalkan rumah sambil memberiku kecupan pamitan di pipi. Tapi soal jilbab adalah soal lain yang tidak kubahas di sini karena lepas dari konteks. Paris, Desember 2005 ---------------------------- JJ. Kusni

Komen dari Bapak Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 17 Mengapa ada pelanggaran hak dasar manusiawi demikian serius di tanahair? Di mana sumber keadaan begini? Pelanggaran hak dasar manusia ini terutama dalam hal hak mengungkapkan diri keadaannya telah dilukiskan oleh Rendra dengan gamblang dalam sanjaknya ‘Aku Tulis Pamplet Ini’ antara lain sebagai berikut: “Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jarring labah-labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, Dan ungkapan diri ditekan Menjadi peng-iya-an. Apa yang terpegang hari ini Bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan ;enjkadi teka-teki, menjadi marabahaya, menjadi isi kebon binatang. Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam. Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak ;engandung perdebatan. Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan” Demikianlah keadaan hak pengungkapan diri di Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru [Orba] Soeharto selama lebih dari tiga dasawarsa yang membuat Indonesia tidak lebih dari sebuah ‘kebon binatang’. Keadaan ini bermula sejak naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan dan menjadikan ‘pembangunan’ sebagai agama serta ia kawal dengan pendekatan ‘keamanan dan kestabilan nasional’ yang membungkam kritik serta oposisi. Dengan pendekatan ini, Orba menegakkan ‘budaya’ takut serta pengembangan pola pikir dan mentalitas budakisme. Dengan pendekatan begini pula maka Orba telah menempuh jalan militerisme dan neo-feodal, memerosotkan Republik men jadi sebuah imperium. Imperium Soeharto. Dampak dari pendekatan ini dirasakan dan ditanggung oleh seluruh bangsa sampai sekarang. Satu generasi telah dirusak pola pikir dan mentalitasnya oleh pendekatan begini, termasuk para sastrawan dan seniman, antara lain dalam ujud mentabukan politik dalam berkreasi. Orba menabur tuba pendapat bahwa politik adalah kotor dan hanya jadi urusan para politisi seperti yang diungkapkan oleh Soeharto dalam salah sebuah pidato kenegaraan 17 Agustusnya. Dengan menabur tuba pandangan ini , maka Orba menutup kemungkinan anak bangsa melihat hakekat politiknya. Karena dalam dan melalui politik, pada galibnya terpusat segala kepentingan terutama kepentingan ekonomi kelompok-kelompok pemegang kekuasaan politik. Tanpa tahu politik , karya-karya akan tumpul dan tidak mengundang pertanyaan dan debat. Tanpa pertanyaan, tanpa debat tanpa kritik, maka kebenaran yang berlaku adalah kebenaran tunggal dan hal ini dikonfirmasi lebih jauh dengan ‘asas tunggal’ yang tidak lain dari pikiran tunggal [la pensee unique], yang bertentangan dengan prinsip ‘bhinneka tunggal ika’. Padahal kehninekaan adalah kenyataan di bagian planet kita ini di mana pun juga. Konsekwensi dari dominasi ‘asas tunggal’, tidak bisa lain kecuali penginjakan atas hak mengungkapkan diri secara merdeka --salah satu nilai utama dari prinsip republiken dan Indonesia itu sendiri. Dengan metode pendidikan begini maka satu generasi tumbuh seperti yang dikatakan oleh Rendra menjadi ‘angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur’. Dalam puisinya ‘Sajak Anak Muda’, Rendra antara lain menulis: “Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Kita kurang pendidikan resmi didalam hal keadilan karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajarkan dasar ilmu hukum. ………… Dasar pendidikan kitaa adalah kepatuhan. Bukan pertukaran pikiran “ Melihat kenyataan demikian Rendra lalu bertanya: “Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?” Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Rendra: “Kita hanya menjadi alat birokrasi! Dan birokrasi menjadi berlebihan Tanpa kegunaan – Menjadi benalu di dahan”. ‘Angkatan gagap’ dan ‘alat saja’ inilah kukira yang masih mendominasi bangsa dan negeri ini sekarang. Angkatan ‘jiwa-jiwa mati’ jika menggunakan istilah N.Gogol. Bisakah angkatan begini menyelamatkan Indonesia dan republik? Dengan pertanyaan ini aku sekaligus melihat arti penting kajian Ekan Nakiah yang menelaah masalah pengungkapan diri dari segi psikhologi sebagai rincian dari maasalah pola pikir dan mentalitas. Kajian yang suka tidak suka, mau atau tidak mau akan menyentuh lingkup politik. Jika ditautkan dengan puisi-puisi Kathirina, maka di sini pulalah lagi-lagi terletak keunikan Kathirina dalam dunia sastra Sabah. Kathirina tidak mentabukan masalah politik ketika ia menyentuh soal kerusakan lingkungan. Kathirina mencoba keluar dari main stream yang bicara tentang Tuhan dan Tuhan tapi lepas dari kenyataan. Sebagai manusia yang babak-belur oleh bantingan kehidupan, Kathirina ingin berpijak pada kenyataan hidup walau pun terkadang ada kesan padaku Kathirina hampir hilang kepercayaan pada manusia sebagai akibat bantingan-bantingan manusia, terutama paternalisme dan maskulinisme yang menguasai nilai-nilai di Sabah, atas nama Tuhan. Di bawah dominasi nilai begini, perempuan menjadi ‘tumbal’ pertama. Dalam keadaan begini, kukira para sastrawan dihimbau tampil ke depan mengikuti teladan Lu Sin ketika melihat keadaan Tiongkok pada tahun 20an atau sikap Zola ketika melihat ketidakadilan pada kasus Kapten Dreyfus sekalipun ia harus meninggalkan Perancis tanahairnya, lari ke Inggris oleh pendiriannya yang tegas. Ketegasan membela nilai, agaknya menjadi utama bagi sastrawan yang serius. Juga sikap Nasrin yang harus meninggalkan Bangladesh tanahairnya pergi ke Swedia karena dikejar maut. Dari contoh-contoh demikian, aku sampai pada hipotesa bahwa sastrawan dan nilai pada galibnya tidak bisa dipisahkan. Menjadi sastrawan adalah paduan utuh dari kemampuan teknik menulis denggan kedalaman pikir.Adanya paduan inilah yang melahirkan kadar – bukan otoproklamasi , lebih-lebih lagi bukan penjanjungan atau iklan diri tanpa malu seperti adat kapitalisme – sistem di mana ’manusia makan manusia’ , jika menggunakan istilah Lu Sin, dan manusia jadi barang dagangan, budak dari ciptaan nya sendiri yaitu uang. Orba Soeharto pada hakekatnya tidak lain dari rezim politik budak dan perbudakan,menginjak ke bazah menjilat ke atas yaitu kapitalisme Barat yang jadi pilar keberadaannya melalui International Governmental Group for Indonesia [IGGI] dilanjutkan dengan CGI setelah IGGI bubar. Tidaklah heran jika manusia yang diciptakan rezim ini adalah budak-budak atau slavisme dengan segala variannya. Orang merasa aman dan terbiasa dengan sistem perbudakan berlumuran darah dan menjadi budak. Kebebasan berpikir ditabukan. Orang-orang pun biasa dengan penindasan tapi tidak biasa dengan perlawanan. Perlawanan sesaat sering nampak dijadikan alat untuk mendapatkan ijazah resmi menjadi hamba kekuasaan. Sekali lagi, Ena Nakiah-ku, Babe melihat melihat kerusakan utama yang dialami bangsa ini adalah kerusakan pola pikir dan mentalitas. Kerusakan manusia Indonesia. Orang-orang sangat menyukai pola pikir dan mentalitas ‘mie instant’ [ekstrimisme kukira salah satu ujud dari pola pikir dan mentalitas ‘mie-instant’ ini juga]. Tanpa mau bekerja keras. Di sini kita sampai pada soal etos kerja – yang tentu saja di sini tidak akan kumasuki. Tapi dengan menyentuh sepintas masalah etos kerja ini, aku ingin perlihatkan betapa kompleks masalah yang Ena sedang kerjakan. Dalam hal ini pendekatan mutli disiplin, kukira patut diterapkan. Karena hidup selalu sangat rumit apalagi yang namanya manusia. Oleh sebab itu aku tidak menyetujui sikap Kathirina yang secara gampang bersikap seperti hilang kepercayaan pada manusia. Seakan-akan manusia sudah tak ada di dunia ini. Untuk apa jadi penyair jika tak percaya pada masih adanya manusia dan hilang mimpi manusiawi? Selanjutnya, aku sampai pada soal siapakah ‘rakyat’ sebagaimana yang Ena ajukan dalam pertanyaan: ‘‘Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?’. Paris, Desember 2005 -------------------------- JJ. Kusni

Terima kasih Pak Kusni!

Ah! Beruntung sekali, ketika terbaca komen, kritikan membina dari Dr Kusni tentang puisi-puisi yang aku tulis dalam tahun 2005, Aku terasa sangat bertuah dan bisa banyak belajar hasil dari panfangan dan kritikan Dr.Kusni. Terima kasih yang tidak terhingga Pak Dr. Kusni. Catatan Sastra Seorang Awam: MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 19 Apa-bagaimana kesimpulanku setelah membaca ‘Puisi-Puisi Nopember’ Katherina ditambah dengan beberapa ‘Puisi-puisi Desember’nya yang disiarkan oleh mata- bambu Jakarta, watan_sabah dan kemsas? Dari segi isi atau pandangan, yang tentu saja hal ini hak mutlak tiap orang yang patut dihormati, penyair Kota Kinibalu ini masih belum bisa membebaskan diri dari sikap fatalis, pasrah pada kekuasaan maskulinisme yang berwarna hitam khianat tidak menghargai perempuan yang nampaknya nilai dominan di Sabah. Perempuan adalah korban pertama dan pertama-tama dari dominasi nilai ini, termasuk Kathirina telah menjadi korban. Melalui ratapan dan kepasrahannya Kathirina membelejeti akibat maskulinisme ini, yang tidak lain dari ujud, di satu pihak merupakan sisa-sisa dari feodalisme dan di sisi lain merupakan pernyataan dari kekuasaan uang – ciptaan manusia yang memperbudak manusia dan kemudian di Tuhan-kan hingga memerosotkan martabat dan harkat manusia, paling tidak ‘separo dari penyangga langit’ yaitu para perempuan. Dalam hal sikap ini, aku membedakan antara fatalisme dan memperhitungkan kenyataan. Memperhitungkan kenyataan secara rasional tidaklah identik dengan fatalisme. Barangkali di sini Kathirina agak rancu. Baris-baris ini kutulis tanpa niat memasuki urusan pribadi penyair yang sama sekali tidak kukenal kecuali mengenal sejumlah teks yang disiarkannya. Apa yang kuajukukan di sini sebatas mempersalahkan konsep dunia idola atau harapan yangmerupakan bagian penting dari sebuah karya puisi. Turut menentukan kadar karya penyair yang dituntut oleh misi kepenyairannya untuk paling tidak berdiri selangkah di depan keadaan dan bukan menyeret masyarakat ke masa silam, apalagi ke tipe keadaan semacam Abad Pertengahan. Adanya protes halus tajam dan fatalisme pada Kathirina memperlihatkan bahwa penyair Kota Kinibalu ini pada galibnya sedang bertarung dengan diri sendiri – sesuatu yang positif, karena menandakan ia tidak berhenti bertanya yang berarti mencari. Dalam hal ini, kukira, Rem, sang esais Sabah, lebih tegas dan lebih selesai dengan dirinya. Barangkali alur pandang Rem merupakan alur pandang tersendiri yang menarik sekali pun tidak atau belum dominan. Hal lain yang menarik pada Kathirina, bahwa ia tidak mentabukan tema politik dan sosial. Ruang lingkup tema yang digarap oleh Kathirina adalah seluas kehidupan – sementara yang kulihat di kemsas atau watan_sabah tema ke Tuhanan , terutama dari segi sudut pandang Islam sangat kuat. Aku tidak tahu bagaimana aliran pandangan ini melihat kemajemukan masyarakat, pertanyaan yang sekaligus kuajukan untuk Indonesia. Dalam hal ini, aku tetap melihat bahwa keragaman adalah suatu keindahan sedangkan uniformitas mengandung ancaman petaka. Kebudayaan itu majemuk sedangkan kemanusiaan itu tunggal. Usaha sadar atau tidak sadar untuk`menyeragamkan suatu daerah atau negeri yang selamanya majemuk tidak lain dari kedunguan besar seperti anak kecil ingin meruntuhkan langit, dengan kepalannya. Apalagi Arab bukanlah Borneo atau Kalimantan. Borneo tetap Borneo, Kalimantan tetap Kalimantan yang layak diindahkan, apalagi yang oleh mengaku diri sebagai sastrawan handal sekaliber apa pun juga di era globalisasi ini. Dari “Puisi-puisi Nopember” nya, aku melihat juga bahwa Kathirina memperhatikan secara sadar akan akar budayanya, yaitu budaya Dayak Kadasan. Sementara yang lain sibuk dengan keislaman mereka seakan-akan Dayak tidak ada di Sabah padahal pada kenyataannya secara demografis, komunitas Dayak seperti halnya dengan di Sarawak komunitas Dayak itu tidak bisa diabaikan, juga kebudayaannya. Quo vadis alur pikiran sastrawan begini? Aku kira, jalan yang ditempuh oleh Kathirina atau Ony, asal Dayak Dusun, sebagai penyair dan budayawan, ada baiknya direnungkan demi pengembangan sastra-seni Sabah jika Sabah ingin bercirikan Sabah dan bukan Arabisasi yang samasekali tidak membangga-banggakan, apalagi di zaman ini. Usul ini pun kulansir juga untuk pembinaan kebudayaan di bagian pulau Borneo/Kalimantan lainnya tanpa usah tergelincir pada ethnosentrisme yang konyol dan berakhir di jalan buntu, anti kenyataan. Dalam tekhnik pengungakapan diri sebagai penyair , melalui apa yang kulihat [kalau pengamatanku benar] , Kathirina banyak dipengaruhi oleh tekhnik pengungkapan diri sastra lisan Dayak yang langsung. Tentu saja hal ini merupakan kekuatannya. Tapi apabila membaca ‘Puisi-puisi Nopember’ dan puisi-puisi yang terdapat di website serta ‘Puisi-puisi Desember’nya, yang kurang kudapatkan pada Kathirina adalah pertarungan sadarnya dalam menggulati tekhnik pengungkapana diri, lebih-lebih dari segi mendapatkan puitisitas khas dirinya yang merupakan hal penting bagi puisi. Sebab puisi tetap puisi bukan artikel dan tulisan yang semata mementingkan ide. Ide memang penting tapi kalau kita berbicara tentang puisi, maka ide itu selayaknya ditulis dan diungkapkan dengan semaksimal mungkin memenuhi unsur-unsur puitisitas seperti yang sudah kutulis di bagian lain tulisan ini sehingga dengan demikian, seorang penyair benar-benar menjadi penyair yang matang dalam isi dan juga matang bentuk atau cara pengungkapan. Menjadi penyair yang utuh. Kathirina mempunyai syarat-syarat untuk menjadi penyair yang utuh begini – apalagi jika ia melakukan pergulatan sadar dalam usaha meningkatkan puitisitas maksimalnya sebagai penyair, di samping pematangan dari segi isi dengan mendapatkan acuan seluas mungkin dari mana pun. Jika ia pandai menarik pelajaran dari maskulinisme Sabah yang deras menderanya, pengalaman pahit ini hanya akan membantunya kian dewasa sebagai penyair dan anak manusia sehingga bukan tidak mungkin, ia memberikan sumbangan berarti bagi khazanah sastra di luar lingkup Sabah. Mengapa tidak?! Hari-hari yang menjanjikan menunggu Kathirina, lebih-lebih Kathirina yang penanya, pencari dan penarung! *** Paris, Desember 2005 ------------------- JJ. Kusni