PERMATA HATIKU

PERMATA HATIKU
Anak-anak adalah pendorong untuk aku terus melangkah kedepan, mengharungi onak dan duri. Kerana mereka aku masih bertahan dan akan terus menyayangi mereka selama-lamanya.

Thursday, September 15, 2011

Dan aku membaca lagi komen Dr.Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 16 ‘Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?’. Pertanyaan ini mengandung isi antara lain: [1]. Situasi di mana rakyat itu hidup; [2]. Siapakah yang dimaksudkan dengan rakyat? [3]. Jalan keluar dari situasi. Mengenai soal pertama, Ena Nakiah yang selalu manja dan terbuka pada Babenya melukiskan keadaan di mana ‘rakyat’ Indonesia dalam kata-kata: “Banyak yang tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus dibungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di tanahair Indonesia”. Kalau mengungkapkan diri disepakati sebagai hak dasar atau hakiki anak manusia tapi justru hak dasar dan hakiki ini “banyak yang harus dibungkam dan dihilangkan” , termasuk “banyak tangis” maka berarti di Indonesia terdapat pelanggaran atas hak dasar dan hakiki anak manusia ini. Sampai orang menangis pun dibungkamkan dan dihilangkan. Menangis pun di Indonesia ‘menjadi suatu yang mahal’. Keadaan demikian melukiskan adanya penindasan luarbiasa di Indonesia. Penindasan luarbiasaa ini, tentu saja berdampak langsung pada pola pikir, mentalitas dan psikhologis penduduk. Daya kritik ditumpulkan. Yang tumbuh subur adalah budaya patuh, mentalitas budakisme yang sanggup mencampakkan harkat dan martabat diri sebagai anak manusia, ketakutan terhadap ajal dan ancaman penghilangan, ketidakmampuan mengatakan tidak, eskapisme, pasrah dan tumbuhnya budaya takdir. Dalam suasana begini ,manusia sesungguhnya sudah kehilangan kemanusiaan dan rasa kemanusiaan apalagi harkat dan martabat kemanusiaaan. Mistisisme pun menjadi subur sebagai tempat pelarian ‘jiwa-jiwa mati’, jika menggunakan istilah N.Gogol, pengarang Russia itu. ‘Jiwa-jiwa mati’ bergentayangan di jalan-jalan bumi tanahair. Orang0rang mati sebelum mati, sebagaimana juga telah dilukiskan oleh Rendra dalam antologi puisinya ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’ – bungarampai puisi yang kukira perlu dijadikan rujukan oleh Ena Nakiah dalam kajiannya ‘tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis’. Masalah psikhologis, bagiku, kumaksukkan hanya sebagai bagian dari masalah pola pikir dan mentalitas dan yang di Perancis merupakan salah satu obyek studi dari antropologi mentalitas –sebuah cabang ilmu antropologi yang cukup berkembang di sini. Apabila mengamati keadaan di lapangan, artinya keadaan di Indonesia, juga mencermati tulisan-tulisan di dunia maya, kalau pengamatanku benqr, maka kerusakan pola pikir, termasuk masalah psikhologis masyarakat kita merupakan kerusakan mendasar dan sangat rusak yang paling hakiki . Jika mengatakan bahwa ‘masyarakat sedang sakit’ , ‘Indoneisa is the sick men of Asia’ , maka kerusakan dan sakitnya bangsa dan masyarakat kita, justru terdapat di bidang ini. Untuk bangkit kembali dan bangkit sebagai anak manusia, maka pertama-tama yang patut disentuh dan disembuhkan adalah penyakit di bidang ini sebagaima dulu Lu Sin melihat Tiongkok pada tahun 1920-an sehingga ia membatalkan keinginan menjadi dokter medis dan memilih profesi sebagai pengarang. Karena itu, kajian yang sedang kau lakukan Ena anakku, kukira sangat hakiki. Aku sebagai Babe-mu hanya berharap agar kau jangan tanggung dan memaafkan diri dalam mengaji masalah. Kau sebagai ilmuwan patut belajar dari semangat dan teladan Socrates atau Gelileo. Jangan takut berada di luar ‘main stream’, Ena Nakiah, anak perempuanku sayang. ‘Main stream’ , nilai dominan suatu waktu tidaklah sama sebangun dengan kebenaran dan kemanusiaan. Harapan ini pun kusampaikan pada Kathirina sebagai sesama Dayak, yang melalui ‘Puisi-puisi Nopember’nya kulihat ada kecenderungan pasrah pada ‘takdir’ dan menempuh jalan ‘eskapisme’ atau kepasrahan membatu yang hanya menghancurkan diri. Menjadi anak manusia dengan segala nilai kandungannya, kukira perlu keberanian membela dan mengembangkan kadar kemanusiaan. Menjadi anak manusia bukanlah tanpa pertarungan. Justru menagih keberanian bertarung untuk menjadi manusia. Di sinilah antara lain makna kata-kata Chairil Anwar ‘sekali berarti sudah itu mati’. Ketika kita meninggalkan rahim sang ibu, kita tidak serta-merta menjadi anak manusia.Menjadi manusia adalah suatu proses pertarungan menjadi manusia. Masalah menjadi manusia dengan nilai-nilai kandungannya, kukira menjadi soal sentral bagi kita dewasa ini. Pengungkapan diri merupakan salahsatu cara untuk menjadi manusia karena itu puisi kukatakan adalah alat pemberontakan terhadap hal-hal yang tidak manusiawi dan proses dari penyair untuk menjadi manusia. Bukan karena sudah menulis satu dua syair maka penyair serta-merta menjadi manusia. Tapi masalah ini bisa dijadikan kajian khusus dan bahan-bahannya cukup tersedia, dan bertimbun berlumbung-lumbung di dunia maya dan media cetak tanahair serta negeri-negeri lain. Hanya orang yang yang tidak menghargai arti pengungkapan diri , menganggap bahwa bahan-bahan berharga untuk memahami manusia, yang memandang bahan-bahan berlumbung-lumbung ini sebagai timbunan sampah dan memandang yang terdapat di media cetak sebagai emas. Ini pun suatu kadar dan tingkat pemahaman yang ‘baru sebegitu saja’. Penyair bagiku adalah suatu kadar kemanusiaan. Kemanusiaan dari berbagai tingkat atau karat. Karena itu bagiku sangat menarik pernyataan Rendra: “ Ya! Ya! Akulah seorang tua! Yang capek tapi belum menyerah pada mati. Kini aku berdiri di perempatan jalan. Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing. Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak, Sebagai seorang manusia”. Tidakkah di negeri kita terdapat bahkan berdominasi orang-orang yang bertubuh ‘sudah menjadi anjing’ tapi jiwanya pun ‘sudah menjadi anjing’ serta tidak mampu bukan hanya menulis sajak tapi tidak bisa memahami arti sajak?! Barangkali anjing pun punya harga diri, karena jika ia disentuh , ia akan menggonggong dan menerjang si pengganggu. Antologi Rendra ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’, kuanggap sebagai lukisan keadaaan pola pikir, mentalitas dan psikhologi manusia Indonesia pada suatu periode, lepas dari adanya kritik yang mengganggap antologi ini sebagai kehilangan puitisitas – kritik yang bisa diperdebatkan lebih lanjut dan rinci. Sastra-seni, kukira, justru bergulat dengan masalah pola pikir dan mentalitas, di mana psikhologi hanya merupakan bagiannya. Sastra-seni , selayaknya, paling tidak selangkah berada di depan kenyataan, menggambarkan dunia yang dimimpikan , serta tokoh-tokoh yang diharapkan bisa mewujudkan mimpi itu. Dalam konteks membicarakan puisi-puisi Kathirina, manusia bagaimana yang disenandungkan oleh penyair Kota Kinibalu ini sebagai tokoh ideal? Tokoh yang pasrah , tokoh yang menganggap segalanya adalah takdir? Terus-terang jika tokoh begini yang diharapkan sebagai pembangun mimpi, kita hanya akan melihat bersimarajalelanya ketidakadilan. Di sinilah kukira, seorang penyair sebagai seorang pemimpi, ada keniscayaan untuk mensistematikkan mimpi-mimpinya. Kalau pun si penyair menangis, tangisnya berada dalam lingkup mimpi-mimpi agungnya tentang kemanusiaan yang patut dipertarungkan untuk bisa berdominasi, bukan untuk diletakkan di bawah tumit sepatu atau dilemparkan ke comberan. Puisi adalah suatu pemberontakan manusiawi, seperti dikatakan oleh Chairil Anwar: “Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi” Masihkah kita, masihkah bangsa dan anak bangsa ini , apakah Kathrina , si penyair Kota Kinibalu, si puteri Dayak Kadasan itu yang sesungguhnya berkonsep dasar ‘Dayak Anak Panarung’, memiliki pola pikir dan mentalitas begini? Terus-terang, sebagai sesama Dayak, aku ingin Kathirina bisa menjadi Dayak Kekinian yang tidak mencampakkan nilai-nilai tanggap budaya leluhur yang hari ini tanpa dipahami sudah dinilai sebagai kadaluwarsa sampai-sampai ada yang malu mengaku diri sebagai Dayak. Ini pun ujud dari kerusakan pola pikir dan mentalitas yang dihadapi manusia Dayak. Mengapa ada pelanggaran hak dasar manusiawi demikian serius di tanahair? Di mana sumber keadaan begini? Ini pun merupakan bagian isi perrtanyaan anak perempuanku yang memang kian cantik dengan berjilbab sekali pun baginya jilbab bukan sesuatu yang hakiki. Sebagai ilustrasi, ingin kuceritakan bahwa Ena selalu minta komentarku tentang jilbabnya dan kujawab agar jangan terlalu rapat-rapat: ‘Kenakan secara artistik, dong Sayang.Jangan ndesit-ndesit amat!’ ‘Gini Be?’ ‘Rambutmu jangan penuh ditutup dong’ ‘Gini?’ ‘Aa, itu dia, Sayang’ Ena ketawa puas dengan dandanan jilbabnya. Kami berdua ngakak. Mengakaki kehidupan, penampilan raga dan hakekat yang sering tercecer. C’est la vie, inilah kehidupan, ujar orang Perancis mengungkapkan toleransi sementara di tanahair toleransi agaknya jadi lahan tandus. ‘Babeku gila, tapi Ena sayang pada Babenya yang nyentrik.Babeku hebat’, demikian selalu Ena berkata sebelum berangkat meninggalkan rumah sambil memberiku kecupan pamitan di pipi. Tapi soal jilbab adalah soal lain yang tidak kubahas di sini karena lepas dari konteks. Paris, Desember 2005 ---------------------------- JJ. Kusni

No comments:

Post a Comment