PERMATA HATIKU

PERMATA HATIKU
Anak-anak adalah pendorong untuk aku terus melangkah kedepan, mengharungi onak dan duri. Kerana mereka aku masih bertahan dan akan terus menyayangi mereka selama-lamanya.

Thursday, September 15, 2011

Terima kasih Pak Kusni!

Ah! Beruntung sekali, ketika terbaca komen, kritikan membina dari Dr Kusni tentang puisi-puisi yang aku tulis dalam tahun 2005, Aku terasa sangat bertuah dan bisa banyak belajar hasil dari panfangan dan kritikan Dr.Kusni. Terima kasih yang tidak terhingga Pak Dr. Kusni. Catatan Sastra Seorang Awam: MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 19 Apa-bagaimana kesimpulanku setelah membaca ‘Puisi-Puisi Nopember’ Katherina ditambah dengan beberapa ‘Puisi-puisi Desember’nya yang disiarkan oleh mata- bambu Jakarta, watan_sabah dan kemsas? Dari segi isi atau pandangan, yang tentu saja hal ini hak mutlak tiap orang yang patut dihormati, penyair Kota Kinibalu ini masih belum bisa membebaskan diri dari sikap fatalis, pasrah pada kekuasaan maskulinisme yang berwarna hitam khianat tidak menghargai perempuan yang nampaknya nilai dominan di Sabah. Perempuan adalah korban pertama dan pertama-tama dari dominasi nilai ini, termasuk Kathirina telah menjadi korban. Melalui ratapan dan kepasrahannya Kathirina membelejeti akibat maskulinisme ini, yang tidak lain dari ujud, di satu pihak merupakan sisa-sisa dari feodalisme dan di sisi lain merupakan pernyataan dari kekuasaan uang – ciptaan manusia yang memperbudak manusia dan kemudian di Tuhan-kan hingga memerosotkan martabat dan harkat manusia, paling tidak ‘separo dari penyangga langit’ yaitu para perempuan. Dalam hal sikap ini, aku membedakan antara fatalisme dan memperhitungkan kenyataan. Memperhitungkan kenyataan secara rasional tidaklah identik dengan fatalisme. Barangkali di sini Kathirina agak rancu. Baris-baris ini kutulis tanpa niat memasuki urusan pribadi penyair yang sama sekali tidak kukenal kecuali mengenal sejumlah teks yang disiarkannya. Apa yang kuajukukan di sini sebatas mempersalahkan konsep dunia idola atau harapan yangmerupakan bagian penting dari sebuah karya puisi. Turut menentukan kadar karya penyair yang dituntut oleh misi kepenyairannya untuk paling tidak berdiri selangkah di depan keadaan dan bukan menyeret masyarakat ke masa silam, apalagi ke tipe keadaan semacam Abad Pertengahan. Adanya protes halus tajam dan fatalisme pada Kathirina memperlihatkan bahwa penyair Kota Kinibalu ini pada galibnya sedang bertarung dengan diri sendiri – sesuatu yang positif, karena menandakan ia tidak berhenti bertanya yang berarti mencari. Dalam hal ini, kukira, Rem, sang esais Sabah, lebih tegas dan lebih selesai dengan dirinya. Barangkali alur pandang Rem merupakan alur pandang tersendiri yang menarik sekali pun tidak atau belum dominan. Hal lain yang menarik pada Kathirina, bahwa ia tidak mentabukan tema politik dan sosial. Ruang lingkup tema yang digarap oleh Kathirina adalah seluas kehidupan – sementara yang kulihat di kemsas atau watan_sabah tema ke Tuhanan , terutama dari segi sudut pandang Islam sangat kuat. Aku tidak tahu bagaimana aliran pandangan ini melihat kemajemukan masyarakat, pertanyaan yang sekaligus kuajukan untuk Indonesia. Dalam hal ini, aku tetap melihat bahwa keragaman adalah suatu keindahan sedangkan uniformitas mengandung ancaman petaka. Kebudayaan itu majemuk sedangkan kemanusiaan itu tunggal. Usaha sadar atau tidak sadar untuk`menyeragamkan suatu daerah atau negeri yang selamanya majemuk tidak lain dari kedunguan besar seperti anak kecil ingin meruntuhkan langit, dengan kepalannya. Apalagi Arab bukanlah Borneo atau Kalimantan. Borneo tetap Borneo, Kalimantan tetap Kalimantan yang layak diindahkan, apalagi yang oleh mengaku diri sebagai sastrawan handal sekaliber apa pun juga di era globalisasi ini. Dari “Puisi-puisi Nopember” nya, aku melihat juga bahwa Kathirina memperhatikan secara sadar akan akar budayanya, yaitu budaya Dayak Kadasan. Sementara yang lain sibuk dengan keislaman mereka seakan-akan Dayak tidak ada di Sabah padahal pada kenyataannya secara demografis, komunitas Dayak seperti halnya dengan di Sarawak komunitas Dayak itu tidak bisa diabaikan, juga kebudayaannya. Quo vadis alur pikiran sastrawan begini? Aku kira, jalan yang ditempuh oleh Kathirina atau Ony, asal Dayak Dusun, sebagai penyair dan budayawan, ada baiknya direnungkan demi pengembangan sastra-seni Sabah jika Sabah ingin bercirikan Sabah dan bukan Arabisasi yang samasekali tidak membangga-banggakan, apalagi di zaman ini. Usul ini pun kulansir juga untuk pembinaan kebudayaan di bagian pulau Borneo/Kalimantan lainnya tanpa usah tergelincir pada ethnosentrisme yang konyol dan berakhir di jalan buntu, anti kenyataan. Dalam tekhnik pengungakapan diri sebagai penyair , melalui apa yang kulihat [kalau pengamatanku benar] , Kathirina banyak dipengaruhi oleh tekhnik pengungkapan diri sastra lisan Dayak yang langsung. Tentu saja hal ini merupakan kekuatannya. Tapi apabila membaca ‘Puisi-puisi Nopember’ dan puisi-puisi yang terdapat di website serta ‘Puisi-puisi Desember’nya, yang kurang kudapatkan pada Kathirina adalah pertarungan sadarnya dalam menggulati tekhnik pengungkapana diri, lebih-lebih dari segi mendapatkan puitisitas khas dirinya yang merupakan hal penting bagi puisi. Sebab puisi tetap puisi bukan artikel dan tulisan yang semata mementingkan ide. Ide memang penting tapi kalau kita berbicara tentang puisi, maka ide itu selayaknya ditulis dan diungkapkan dengan semaksimal mungkin memenuhi unsur-unsur puitisitas seperti yang sudah kutulis di bagian lain tulisan ini sehingga dengan demikian, seorang penyair benar-benar menjadi penyair yang matang dalam isi dan juga matang bentuk atau cara pengungkapan. Menjadi penyair yang utuh. Kathirina mempunyai syarat-syarat untuk menjadi penyair yang utuh begini – apalagi jika ia melakukan pergulatan sadar dalam usaha meningkatkan puitisitas maksimalnya sebagai penyair, di samping pematangan dari segi isi dengan mendapatkan acuan seluas mungkin dari mana pun. Jika ia pandai menarik pelajaran dari maskulinisme Sabah yang deras menderanya, pengalaman pahit ini hanya akan membantunya kian dewasa sebagai penyair dan anak manusia sehingga bukan tidak mungkin, ia memberikan sumbangan berarti bagi khazanah sastra di luar lingkup Sabah. Mengapa tidak?! Hari-hari yang menjanjikan menunggu Kathirina, lebih-lebih Kathirina yang penanya, pencari dan penarung! *** Paris, Desember 2005 ------------------- JJ. Kusni

No comments:

Post a Comment