PERMATA HATIKU

PERMATA HATIKU
Anak-anak adalah pendorong untuk aku terus melangkah kedepan, mengharungi onak dan duri. Kerana mereka aku masih bertahan dan akan terus menyayangi mereka selama-lamanya.

Thursday, September 15, 2011

Komen dari Bapak Kusni

Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 17 Mengapa ada pelanggaran hak dasar manusiawi demikian serius di tanahair? Di mana sumber keadaan begini? Pelanggaran hak dasar manusia ini terutama dalam hal hak mengungkapkan diri keadaannya telah dilukiskan oleh Rendra dengan gamblang dalam sanjaknya ‘Aku Tulis Pamplet Ini’ antara lain sebagai berikut: “Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jarring labah-labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, Dan ungkapan diri ditekan Menjadi peng-iya-an. Apa yang terpegang hari ini Bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan ;enjkadi teka-teki, menjadi marabahaya, menjadi isi kebon binatang. Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam. Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak ;engandung perdebatan. Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan” Demikianlah keadaan hak pengungkapan diri di Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru [Orba] Soeharto selama lebih dari tiga dasawarsa yang membuat Indonesia tidak lebih dari sebuah ‘kebon binatang’. Keadaan ini bermula sejak naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan dan menjadikan ‘pembangunan’ sebagai agama serta ia kawal dengan pendekatan ‘keamanan dan kestabilan nasional’ yang membungkam kritik serta oposisi. Dengan pendekatan ini, Orba menegakkan ‘budaya’ takut serta pengembangan pola pikir dan mentalitas budakisme. Dengan pendekatan begini pula maka Orba telah menempuh jalan militerisme dan neo-feodal, memerosotkan Republik men jadi sebuah imperium. Imperium Soeharto. Dampak dari pendekatan ini dirasakan dan ditanggung oleh seluruh bangsa sampai sekarang. Satu generasi telah dirusak pola pikir dan mentalitasnya oleh pendekatan begini, termasuk para sastrawan dan seniman, antara lain dalam ujud mentabukan politik dalam berkreasi. Orba menabur tuba pendapat bahwa politik adalah kotor dan hanya jadi urusan para politisi seperti yang diungkapkan oleh Soeharto dalam salah sebuah pidato kenegaraan 17 Agustusnya. Dengan menabur tuba pandangan ini , maka Orba menutup kemungkinan anak bangsa melihat hakekat politiknya. Karena dalam dan melalui politik, pada galibnya terpusat segala kepentingan terutama kepentingan ekonomi kelompok-kelompok pemegang kekuasaan politik. Tanpa tahu politik , karya-karya akan tumpul dan tidak mengundang pertanyaan dan debat. Tanpa pertanyaan, tanpa debat tanpa kritik, maka kebenaran yang berlaku adalah kebenaran tunggal dan hal ini dikonfirmasi lebih jauh dengan ‘asas tunggal’ yang tidak lain dari pikiran tunggal [la pensee unique], yang bertentangan dengan prinsip ‘bhinneka tunggal ika’. Padahal kehninekaan adalah kenyataan di bagian planet kita ini di mana pun juga. Konsekwensi dari dominasi ‘asas tunggal’, tidak bisa lain kecuali penginjakan atas hak mengungkapkan diri secara merdeka --salah satu nilai utama dari prinsip republiken dan Indonesia itu sendiri. Dengan metode pendidikan begini maka satu generasi tumbuh seperti yang dikatakan oleh Rendra menjadi ‘angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur’. Dalam puisinya ‘Sajak Anak Muda’, Rendra antara lain menulis: “Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Kita kurang pendidikan resmi didalam hal keadilan karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajarkan dasar ilmu hukum. ………… Dasar pendidikan kitaa adalah kepatuhan. Bukan pertukaran pikiran “ Melihat kenyataan demikian Rendra lalu bertanya: “Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?” Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Rendra: “Kita hanya menjadi alat birokrasi! Dan birokrasi menjadi berlebihan Tanpa kegunaan – Menjadi benalu di dahan”. ‘Angkatan gagap’ dan ‘alat saja’ inilah kukira yang masih mendominasi bangsa dan negeri ini sekarang. Angkatan ‘jiwa-jiwa mati’ jika menggunakan istilah N.Gogol. Bisakah angkatan begini menyelamatkan Indonesia dan republik? Dengan pertanyaan ini aku sekaligus melihat arti penting kajian Ekan Nakiah yang menelaah masalah pengungkapan diri dari segi psikhologi sebagai rincian dari maasalah pola pikir dan mentalitas. Kajian yang suka tidak suka, mau atau tidak mau akan menyentuh lingkup politik. Jika ditautkan dengan puisi-puisi Kathirina, maka di sini pulalah lagi-lagi terletak keunikan Kathirina dalam dunia sastra Sabah. Kathirina tidak mentabukan masalah politik ketika ia menyentuh soal kerusakan lingkungan. Kathirina mencoba keluar dari main stream yang bicara tentang Tuhan dan Tuhan tapi lepas dari kenyataan. Sebagai manusia yang babak-belur oleh bantingan kehidupan, Kathirina ingin berpijak pada kenyataan hidup walau pun terkadang ada kesan padaku Kathirina hampir hilang kepercayaan pada manusia sebagai akibat bantingan-bantingan manusia, terutama paternalisme dan maskulinisme yang menguasai nilai-nilai di Sabah, atas nama Tuhan. Di bawah dominasi nilai begini, perempuan menjadi ‘tumbal’ pertama. Dalam keadaan begini, kukira para sastrawan dihimbau tampil ke depan mengikuti teladan Lu Sin ketika melihat keadaan Tiongkok pada tahun 20an atau sikap Zola ketika melihat ketidakadilan pada kasus Kapten Dreyfus sekalipun ia harus meninggalkan Perancis tanahairnya, lari ke Inggris oleh pendiriannya yang tegas. Ketegasan membela nilai, agaknya menjadi utama bagi sastrawan yang serius. Juga sikap Nasrin yang harus meninggalkan Bangladesh tanahairnya pergi ke Swedia karena dikejar maut. Dari contoh-contoh demikian, aku sampai pada hipotesa bahwa sastrawan dan nilai pada galibnya tidak bisa dipisahkan. Menjadi sastrawan adalah paduan utuh dari kemampuan teknik menulis denggan kedalaman pikir.Adanya paduan inilah yang melahirkan kadar – bukan otoproklamasi , lebih-lebih lagi bukan penjanjungan atau iklan diri tanpa malu seperti adat kapitalisme – sistem di mana ’manusia makan manusia’ , jika menggunakan istilah Lu Sin, dan manusia jadi barang dagangan, budak dari ciptaan nya sendiri yaitu uang. Orba Soeharto pada hakekatnya tidak lain dari rezim politik budak dan perbudakan,menginjak ke bazah menjilat ke atas yaitu kapitalisme Barat yang jadi pilar keberadaannya melalui International Governmental Group for Indonesia [IGGI] dilanjutkan dengan CGI setelah IGGI bubar. Tidaklah heran jika manusia yang diciptakan rezim ini adalah budak-budak atau slavisme dengan segala variannya. Orang merasa aman dan terbiasa dengan sistem perbudakan berlumuran darah dan menjadi budak. Kebebasan berpikir ditabukan. Orang-orang pun biasa dengan penindasan tapi tidak biasa dengan perlawanan. Perlawanan sesaat sering nampak dijadikan alat untuk mendapatkan ijazah resmi menjadi hamba kekuasaan. Sekali lagi, Ena Nakiah-ku, Babe melihat melihat kerusakan utama yang dialami bangsa ini adalah kerusakan pola pikir dan mentalitas. Kerusakan manusia Indonesia. Orang-orang sangat menyukai pola pikir dan mentalitas ‘mie instant’ [ekstrimisme kukira salah satu ujud dari pola pikir dan mentalitas ‘mie-instant’ ini juga]. Tanpa mau bekerja keras. Di sini kita sampai pada soal etos kerja – yang tentu saja di sini tidak akan kumasuki. Tapi dengan menyentuh sepintas masalah etos kerja ini, aku ingin perlihatkan betapa kompleks masalah yang Ena sedang kerjakan. Dalam hal ini pendekatan mutli disiplin, kukira patut diterapkan. Karena hidup selalu sangat rumit apalagi yang namanya manusia. Oleh sebab itu aku tidak menyetujui sikap Kathirina yang secara gampang bersikap seperti hilang kepercayaan pada manusia. Seakan-akan manusia sudah tak ada di dunia ini. Untuk apa jadi penyair jika tak percaya pada masih adanya manusia dan hilang mimpi manusiawi? Selanjutnya, aku sampai pada soal siapakah ‘rakyat’ sebagaimana yang Ena ajukan dalam pertanyaan: ‘‘Bagaimana memulai agar rakyat bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?’. Paris, Desember 2005 -------------------------- JJ. Kusni

No comments:

Post a Comment